14 Mar 2013

Pohon Buah Berkikir Lima

Dari  ketinggian, sering kali saya menemui keindahan yang selalu ada dan terus berkembang. Objek yang saya lihat sejatinya tidak pernah berubah, pohon Kapas Randu di kejauhan, tapi pesona yang selalu ditampilkan tidak pernah membosankan walau setiap hari saya mengamatinya.

Rasa tenang ketika saya mendengar suara desir dedaunan, mungkin disebabkan Sel manusia dan alam sekitarnya tidaklah jauh berbeda.

Atau mungkin sudah menjadi gawan bayi, bahwa manusia menyukai keindahan, ketentraman kedamaian yang dipancarkan oleh alam.

Dari atas pohon buah berkikir lima saya diajarkan tentang cinta, cinta antara manusia dengan alam pepohonan dan para hewan.

Rutinitas masa kecil yang berputar diantara sawah ladang menjadikan hati saya terpatri pada sebuah cita-cita kecil yang sangat sederhana, Cita-cita anak desa.

Keinginan untuk hidup berbaur dengan berbagai hewan kandang peliharaan terasa lebih nyaman, dibandingkan tercukupi dengan hiruk pikuk kemegahan yang ditawarkan oleh "kesejahteraan".

Selama ini kita terlalu di doktrin bahwa kesejahteraan adalah segala unsur yang bisa dibeli dengan uang. Padahal jika kita mau jujur kesejahteraan adalah bagaimana kita bisa merasa nyaman.

Kesejahteraan yang bersifat materi sebenarnya hanyalah ilusi. Karena kepuasan yang ditimbulkan dari materi letaknya hanyalah kepuasan hasrat otak yang seringkali cenderung pongah dan penuh kesombongan.

Hati meskipun memberontak, mencoba menyadarkan otak yang terlalu bernafsu untuk mencari-cari materi, seringkali diabaikan meski suatu ketika entah berapa saat akan sadar dan membenarkan apa kata hati.

Kembali, saya mencoba menuliskan tentang kenangan antara saya dengan pohon buah berkikir lima, tak lain hanyalah sebagai penyegar ingatan sekaligus sebagai obat penawar racun materi yang mulai menggerogoti diri saya pribadi.

Pohon itu adalah pohon belimbing, tumbuh dipinggir rumah saya, tepatnya disamping dapur. Dari cerita yang saya dapat dari Bapak, pohon itu adalah hasil tanam kakek saya.

Entah doa apa yang dilafalkan kakek saya ketika pertama kali mengubur biji belimbing, sehingga ketika tumbuh rindang mampu memberi keteduhan jasmani dan rohani.

Mungkin penjelasan filosofi pohon belimbing dalam syair Sunan Kalijogo Lir-ilir pernah didengar oleh kakek saya. Mungkin.

Yang jelas saya harus berterima kasih, karena pada masa selanjutnya pohon itu telah banyak mengajari saya pendidikan karakter, tentang bagaimana seharusnya bersikap sebagai orang desa.

Ketika saya masih MI/SD, saya sering menghabiskan waktu bermain saya untuk bertengger diatas pohon belimbing ini.

Laksana gedung bertingkat yang penuh berbagai ruangan, begitu pula pohon ini, banyak dahan yang mempunyai berbagi fungsi, setidaknya menurut saya sendiri.

Ada satu pisisi dahan yang mungkin saya anggap sebagi tempat santai, karena jika saya duduk diatasnya ada banyak ranting kuat sebagai sandaran punggung, dengan dikelilingi dedaunan yang lebat menjadi sebuah nilai tambah kenyamanan untuk berimajinasi.

Sedikit memanjat diatasnya adalah lumbung pangan, dimana banyak buah merekah memancarkan bias warna hijau kekuning-kuningan menggoda lidah untuk melahap setiap kikirnya.

Lebih jauh memanjat keatas adalah tempat untuk memandang jauh kearah barat, terliahat di sebuah titik jauh namun masih jelas ditangkap oleh pupil mata, tumbuh menjulang pohon Kapas Randu, yang ketika saya memandangnya seakan saya berada diatas gunung.

Saya percaya, pepohonan bisa mendengar, bisa merasakan, begitu juga dengan hewan-hewan. Mereka juga bertasbih kepada penciptanya dengan kapasitasnya sendiri-sendiri.

Sangat beralasan ketika saya mendaulatnya menjadi SAHABAT. Entah sudah berapa banyak cerita yang saya bagi dengannya, begitu juga berapa kali saya menyampaikan keluh kesah ketika saya mendapat masalah.

Terlalu banyak memori yang saya sendiri sudah banyak lupa, tapi sekali lagi saya yakin, sang pohon masih menyimpannya dalam serat-serat rumit yang tak kasat mata.

Bisa dibilang ketika masih kecil saya termasuk pendiam dan penyendiri, karena kurang mempunyai bakat saya sering disingkirkan dalam berbagai permainan, egoisme anak-anak terkadang memang sangat menyakitkan.

Tapi itulah anak-anak, sikapnya tidak bisa disalahkan, toh seandainya mereka salah pun tidak berdosa. Setidaknya ada hikmah yang saya dapat dari keterasingan diantara teman sepermainan.

Dimana saya lebih mempunyai banyak waktu untuk merenung dan berimajinasi dalam rimba khayalan bersama pepohonan dan hewan.

Pohon itu lebih banyak tau tentang apa yang saya pikirkan jika dibandingkan orang-orang disekitar saya. Pohon itu adalah tempat saya menangis ketika saya dimarahi.

Pohon itu tempat saya mengucapkan "Aku cinta kamu" yang pada kenyataannya saya tidak pernah menyampaikan kepada yang seharusnya mendengar kata itu.

Terlalu banyak, memang terlalu banyak, sampai-sampai saya sendiri banyak yang lupa tentang berbagai cerita dulu.


Kini saya sudah mulai rapuh, anak saya sudah hampir tiga, namun Sahabat saya yang satu itu masih terlihat muda. Rambut saya yang sudah banyak berubah warna menjadi perak berbanding terbalik dengan daun-daunnya yang semakin hijau.

Jika saya diberi kesempatan untuk bertemu kembali saya akan mencoba memanjatnya kembali, mencoba membolak-balik setiap lembar daunnya siapa tau masih terselip satu atau dua memori yang sudah saya lupakan. Semoga kita bisa bertemu kembali Sahabat.

Cairo menjelang pulang.
Comments
0 Comments