21 Apr 2017

Ya Dzal Wabal

Setelah melepas topeng yg membungkus kulit muka, terlihat bahwa lipatan-lipatan tidak bisa menyembunyikan umur yg renta.

Kb Mb memapah secara hati-hati sang guru spiritual, Gb.

Gb : (setelah duduk di teras) Sebelum kalian datang aku sudah ada di pucuk pohon kelapa itu. (Sambil menunjuk pohon disamping rumah)

Mb : Berarti guru mendengar pembicaraan kami?

Gb : Aku bahkan memahami kebingunganmu membaca situasi di tanah Jawa, Jaya Karta.

Kb : Berilah kami pencerahan guru...

Gb : Pencerahan?.....hemm....pencerahan! Itulah kunci dari apa yang dilihat oleh Bagong. Perang batin yang menjurus pada perang fisik diakibatkan karena semua merasa pada posisi tercerahkan. Saling klaim kebenaran, memperkosa "Dawuh Gusti" hanya untuk membenarkan diri. Kalau saja semua merasa dalam gelap kebodohan, tentunya Gusti Allah akan membimbing menuju "nur" pemahaman. Tapi nyatanya.... Semua merasa dalam cahaya sehingga setan membimbing menuju pekat dan keruhnya kerukunan.

(Kb Mb terus menyimak, sementara saya masih mencuri dengar dari dalam rumah, Gb melanjutkan)

Santet kata-kata dikirim dalam kemasan do'a, sedangkan yang tulus berdo'a dicurigai membaca Tenung japa mantra. Semuanya terbalik dari "patrap", yang seharusnya bebas rahasia diumbar telanjang "udo mintal-mintul gondal-gandul", dan sebagian yang lain membalasnya dengan cara yang sama. Lebih miris, yang "istiqomah" menutup aurat pun berusaha diajak "ngedan berjamaah".

Kb : Siapa yang menang guru?

Gb : Kamu kok masih tidak paham Du...Bledu.... Jangan tanya yang menang... karena tidak ada yang menang, semuanya sudah kalah. (Emosi)

Mb sedikit "mbantah" :  Maaf guru, tapi aku melihat ada yang berpesta, ada yang bertakbir. Sekarang aku menyimpulkan bahwa pihak mukminlah yang menang.

Gb (makin emosi) : Kalian berdua memang GUOBLOK, robeknya tenun kebangsaan dan terputusnya tali ukhkuwah islamiyah, wathoniyah juga basyariyah kamu anggap sebagai kemenangan...!! Apakah kamu berpikir Kanjeng Nabi tersenyum melihat semua ini ...!! (Gb mengatur nafas) Tapi alhamdulillah... (Nafasnya mulai setabil) Gusti Allah menghindarkan Jaya Karta dari peperangan yang lebih dahsyat dengan terpilihnya yang "mukmin", itu tandanya Gusti masih me-Rahman-i Jaya Karta.

Akhirnya saya tidak tahan, saya keluar, saya mulai marah kepada mereka bertiga. Sambil meninggikan suara saya berucap :

"Ini adalah pemanasan menuju penghancuran total Negeri Nuswantara, ramuan beracun yang diracik berbahan sentimen Suku Agama Ras dan Antar golongan, sudah ditenggak jutaan manusia. Menjadi wabah yang menular sampai ke pelosok desa. Tidak ada yang bisa menangkal, Qutub atau Ghaust pun tidak bisa, hanya Allah, hanya Allah, hanya Allah."

Kerak Bledu nekat bertanya : Siapakah sebetulnya tuan ini? (seketika Gb menginjak kaki Kb)

Dengan terpaksa saya jawab : Namaku Ahmad Syukron Mujib yang dikenal dengan Tutur Bayituo. (Tb)

Mereka berebut mencium tangan saya, Gb mewakili murid2nya meminta maaf : Sudilah kiranya Maulana Wamurobbi Ruhina memaafkan murid yang fakir ini.

Saya (Tb) : Sudahlah wahai muridku, ajaklah cucu murid masuk ke dalam, kita bersama-sama melangitkan wirid Ya Dzal Wabal..... Ya Dzal Wabal....

Bersambung 2019.....

19 Apr 2017

Perang Batin

Tidak ada kepul "menyan" tanpa "langes" kayu gaharu, baru saja saya mengalami kejadian "ghaib". Sebetulnya saya ragu untuk menceritakan ini, tapi terpaksa saya menuliskannya.

Dua pengembara bertamu tanpa permisi langsung duduk diteras rumah saya. Sambil mencuri dengar obrolan mereka, saya mendapati pengembara muda bernama Kerak Bledu, sedangkan yang lebih tua dipanggil Mas Bagong (selanjutnya disinggkat Kb dan Mb).

Kb : KangMas.... Sampean sudah bertapa lelana, nyebrang samudra, sedangkan aku hanya mondar-mandir tanah Sumatra, tolong ceritakan pada fakir ini pengalaman apa yg kau alami hari ini di tanah Jawa.

Mb : Adikku.... Sejak pagi aku menyusuri tanah jawa dari pesisir Blambangan berjalan ke arah Lumajang, aku sempatkan shalat Dhuha dipuncak Mahameru, kemudain aku terus berjalan ke arah kiblat, saat matahari tepat diatas ubun-ubun aku "ngaso" di perbukitan Kendeng Utara, lalu aku Dhuhur berjamaah dengan batu kapur dan kayu jati, dalam hening wiridku aku terganggu sorak gegap gempita dari arah barat. Segera dengan langkah cepat melewati Alas Roban aku berusaha mendekati sumber suara.

Kb : Suara apakah gerangan yang mampu mengusik khusu' wirid kangMas?.

Mb : Suara takbir

Kb : Allahu Akbar.... Takbir itu dari wali Qutub atau seorang Abid?

Mb : Itulah yang menjadi misteri perjalananku, Adikku.... Baru kali ini mata batinku tidak mampu menyingkap  sirr, rahasia identitas mereka.

Kb : Apa yg sebenarnya terjadi kangMas?

Mb : Mereka bertakbir merayakan kemenangan entah siapa, dari perang apa aku tidak begitu paham. Tapi aku mendengar obrolan binatang ternak,  bahwa di daerah Jaya Karta sedang terjadi peperangan antara kaum "mukmin" melawan persekutuan kaum "kafir-munafik".

Kb : Tentu peperangan yang sangat dahsyat.... Dan aku menebak Gusti Allah memihak kaum mukmin. Berapa jumlah korban dari kedua pihak, mukmin maupun kafir-munafik?

Mb : Aroma anyir "jerohan" begitu menyengat, tapi tidak ada kulit seorang manusia yang tergores. Tidak ada nyawa yang meninggalkan raga.

Kb : Perang batin....

Mb : Ya... Perang yang tidak akan terdengar getar tali gandewa, tanpa riuh denting dan percikan api dari pedang kesatria. Tapi luka yang tak kasat mata menganga memuntahkan segala isi dada.

Kb : KangMas.... Sekali lagi aku bertanya, siapa pemenangnya. Mukmin kah, atau kafir-munafik?

Mb : Itu juga yang menjadi kegoblokanku adik.... Semuanya samar, mukmin yg kafir, munafik yang mukmin, kafir-munafik-mukmin, mukmin-munafik-kafir, munafik-mukmin-kafir......

Hahaha... Tiba- tiba terdengar lantang suara tawa ber-bareng-an munculnya sosok bertopeng di pelataran rumah saya.

Kb, Mb : (kaget dan berdiri) SIAPA KISANAK?

Orang bertopeng itu geleng-geleng kepala sambil melirihkan tawanya, kemudian berucap " dengan Mursyidmu sendiri kalian lupa, namaku belum berubah, akulah Gus Batok". (Selanjutnya disingkat Gb)

Kb, Mb : (tergopoh-gopoh, sungkem dan mencium tangan Gb) maafkan kami ya Maulana Murobbi Ruhina.

Bersambung.....