18 Oct 2016

Sebelum Kau Benar - Benar Haram Ku Cintai

Kau itu cantik, bisa dibilang kau adalah bunga desa di kampung kita. Semua laki - laki yang merasa tampan akan mempertaruhkanmu demi kepuasan hatinya. Pun laki - laki yang berkantong tebal, menawarkan seribu janji untuk selalu membahagiakanmu. Jangan hiraukan aku. Aku hanyalah laki - laki miskin yang tak punya suatu apa untuk kupertaruhkan  demi mendapatkanmu. Kau selalu berharap ada keajaiban kecil yang merubah takdir kita. Mustahil.
Lihatlah orang tuamu, begitu berharap agar si Radit memboyongmu kepelaminan. Setiap hari kau dibonceng motor honda barunya, aku hanya menatapmu diatas sepeda ontelku. Kau lebih pantas bersanding dengannya. Aku tak mau kau berubah menjadi kusut dan tak terawat kalau menjadi isteriku, lantaran aku tak mampu membelikan kosmetik andalanmu. Biarlah aku tetap melihatmu cantik meski kau bukan milikku.
Kau dan aku berpura - pura saling mencintai. Lebih detailnya aku sangat mencintaimu dan kau pura - pura mencintaiku. Menyakitkan bukan? Itulah yang kusebut pengorbanan sia - sia. Namun aku tak bisa berpaling darimu. Kau selalu menyeretku ke dalam jebakan cinta palsumu, apa maksudmu?. Melihatku mengemis cintamu, apakah membuatmu senang?membakar api cemburu saat kau dibonceng motor baru, suatu kebanggaan kah? Gadisku, lepaskan lah aku dari jerat cintamu.
Setiap hari secarik surat cinta kau layangkan padaku, melalui pos pribadimu. Goresan - goresan pedih yang seolah kau rasakan ketika harus melepaskanku, menyayat lubuk hati ini. Hentikanlah semuanya. Lupakan saja keajaiban kecil yang kau rindukan itu. Aku bukan yang terbaik untukmu, meskipun aku teramat mencintaimu.

Maafkan aku, Yudha. Aku terpaksa melakukan semuanya. Orang tuaku memaksaku. Aku tak berdaya. Aku berharap ada keajaiban kecil merubah takdir kita. Aku masih akan tetap mencintaimu, selamanya.

Bau harum dari kertas suratmu membiusku seperti pesakitan yang ingin berontak dari ranjang tidurnya. Aku terkulai di atas dipanku sendiri, menatap langit - langit rumah yang seolah akan jatuh menimpaku. Baik kupejamkan mata ini, bermimpi menyambut gadisku di ruang hati yang hampir hancur. Badai cinta menyambar nya berkali - kali. Namun masih bisa bertahan, sampai waktu akan bercerita bahwa gadisku di culik orang.
Radit, anak juragan tanah itu melamarmu, dan tentu saja kau menerimanya. Kau berharap aku datang menjadi seorang pahlawan yang menyelamatkanmu dari kubangan lumpur hitam. Lupakanlah aku. Kau sudah menerimanya, entah dengan terpaksa atau senang hati, kenyataannya kau akan menjadi isterinya. Itu saja.
Aku harus pergi dari kehidupanmu. Pergi sejauh - jauhnya dari desa ini. Aku tak mau nantinya terjadi kisruh bila kita terus - terusan berkirim salam lewat sepucuk kertas bermotif cinta. Terang saja, sebelum kepergianku, ternyata kau harus pergi dulu. Ketempat aku tak bisa menjangkaumu lagi. Orang tuamu mungkin telah mengetahui hubungan kita, dan sengaja memisahkan kita dalam jarak ruang dan waktu yang begitu lama. Kau pergi entah kemana. Biarlah terjadi, ini memang harus terjadi. Aku akan pergi ke sebuah negara di Timur Tengah melanjutkan studiku, berkat beasiswa yang kuraih dari kedutaan Mesir .
***
Dari ujung benua, aku menerima kabar pernikahanmu. Aku bahagia, karena aku sudah menemukan penggantimu disini. Dia tak secantik dirimu, tapi dia yang membuatku tenang. Menapaki kehidupan baru dan melupakan dirimu.
Dua bulan berlalu, kau mungkin tengah mengandung anakmu. Diam - diam akupun mencari kabar tentangmu. Ibuku yang memberitahuku, bahwa kau lari dari rumah suamimu. Kau juga sempat meminum racun dan dibawa ke IGD. Kau setengah gila, apa benar - benar gila. Kenapa tak kau lakukan sejak dulu. Kenapa kau tak lari sebelum menerima pinangannya. Kenapa kau tak minum racun sebelum memegang pinggangnya diatas motor baru itu. Apa yang kau tunggu? Aku? Tidak mungkin. Aku sudah hancur. Jangan berusaha menyambung kembali puing - puing sukmaku. Enyahlah dari hidupku.
Batinku remuk. Gadisku terluka mungkin karena aku yang tak berdaya. Namun aku tak bisa kembali. Aku tak mungkin menggenggam dua kuntum bunga sekaligus di tanganku. Kau adalah mawar yang pernah menusukku dengan durimu. Karena itulah kupilih melati yang putih, bersih, selalu bersinar kala ku memandangnya.
***
Tiba waktunya aku harus segera menikah. Melepas masa lajang yang penuh ombak kebimbangan. Harus kuputuskan untuk menikahi gadis pilihanku. Agar bayangmu segera pergi dari hidupku. Aku pulang kenegeri tempat kita bertemu. Indonesia. Calon bidadariku masih di Mesir, baru setelah mendekati hari pernikahan, dia akan kupanggil pulang.
Didesaku, suasana masih seperti dulu, sebelum aku pergi. Hanya saja, kau sudah tidak disini. Kau melayang jauh di pulau seberang, di pulau Sumatera.
Aku berusaha mencari nomer telponmu, dari kawan lamaku yang kebetulan tinggal satu desa denganmu dipulau seberang. Meski nomer telpon sudah ku pegang, namun aku ragu untuk memencet tombol hijau bergambar telepon di ponselku. Aku resah, aku teringat calon isteriku. Tanganku tak bisa kompromi. Tiba - tiba ponselku berdering lebih dulu sebelum sempat kutekan tombol hijau. Buru - buru kuangkat namun kutahan suaraku.
"Halo....halooo.....haloo...", suara perempuan.
"Halo", jawabku kemudian.
"Ini nomernya Yudha kah?".
"Ya, siapa ini?"
"Kawan lama. Apa kabarmu? Lama sekali aku ingin mendengarkan suaramu. Kau pasti sudah mendengarkan kabar tentangku. Aku tak bisa....".
"Ssssst..pelankan suaramu", aku mulai menangkap suaramu dengan sinyal - sinyal di hatiku. Itu pasti kau, pasti. "Kau tak dimarahi ayahmu? Nelpon aku?".
"Ayahku sedang pergi, aku pinjam hpnya tapi aku pakai nomerku sendiri. Kau dimana sekarang? Aku dengar kau di Mesir?".
"Aku pulang, dan aku ingin mengatakan sesuatu padamu".
"Sama. Aku pun ingin mengatakan sesuatu padamu".
"Siapa duluan? Kau?".
"Kau saja".
"Tanggal 26 agustus....aku....", tak kuasa meneruskan kata - kataku.
"Married?".
"Benar". Sinyal terputus. Kucoba menghubungi lagi, hanya suara nyonya veronika memintaku meninggalkan pesan. Aku khawatir kalau dia menenggak racun lagi. Ku hubungi kawanku disana, agar terus mengontrol dirimu, kau jangan mati. Tubuhku limbung diatas tempat tidurku. Aku melakukan kesalahan. Tapi aku harus mengatakannya. Demi kebaikan kita bersama.
Bersabarlah, aku akan menemuimu. Pulau Sumatera, tujuanku selanjutnya. Aku ingin melihatmu terakhir kali sebelum aku benar - benar haram mencintaimu.
***
Pulau Sumatera. Wajahmu terus menghantui setiap perjalananku. Aku sudah tak sabar ingin melihatmu sekian lama. Aku iba denganmu, kau pasti terluka dengan pernikahanmu. Cibiran tetangga, menganggapmu pelacur, tentu sangat menyakitimu. Ijinkan aku menghiburmu. Memberi semangat kepadamu, sebelum aku benar - benar haram mencintaimu.
Seandainya, aku belum menemukan melatiku. Seandainya aku nekat melamarmu dulu. Seandainya...ah, seandainya. Penyesalan memang tak pernah berguna. Aku benci diriku sendiri. Naif. Pecundang.
Didesa tempatmu tinggal. Aku bernaung dibawah rumah kawan lamaku. Setiap pagi, siang, sore, aku menunggumu diteras rumah kawanku, siapa tahu kau berlalu melewatiku dan menoleh padaku.
Statusmu masih belum jelas. Janda, kau belum diceraikan.  Gadis, kau sudah pernah menikah. Janda kembang, orang - orang memanggilmu. Aku semakin bimbang. Keputusan sudah terlanjur ku ambil. Oh Tuhan, jauhkanlah aku dari kenistaan.
Keberadaanku disini memang tak diridhoi Tuhan. Aku telah mencampakkan tanggung jawabku. Sebentar lagi aku menikah, dan kau tak kunjung ku temui. Aku hampir putus asa, sebelum akhirnya sosokmu melintas didepan rumah ini. Kerudung biru, berkelebat diterpa angin. Dari belakang, kau seperti menyapaku. Entah hayalanku saja. Sepeda motor yang kau boncengi terlalu kencang, sampai aku tak bisa menatapmu dalam - dalam, dari belakang. Ya, kau berlalu memunggungiku. Itu artinya aku ditakdirkan tak boleh melihatmu. Selamanya.
"Yudha, cepatlah pulang. Kamu menikah empat hari lagi. Kamu sekarang dimana?", ibuku sudah mengultimatum dari Jawa.
"Iya bu. Aku segera pulang". Kali ini kau benar - benar marah padaku. Aku menyerah. Aku tak mungkin mencintaimu lagi. Selamat tinggal gadis pujaanku.
***

Entah Ludah Siapa Yang Tersangkut Di Kerongkongan

Di atas pohon buah berkikir lima - kalian menyebutnya buah belimbing - aku duduk, bertengger layaknya seekor burung bertandang di sarangnya. Menikmati hembusan angin sepoi - sepoi ditengah terik matahari. Aku menyaksikan mereka sama sekali tak merasa kepanasan. Lalu lalang, dari ujung barat ke ujung timur, bolak balik, tertawa bahagia, di atas sepeda kecil mereka. Teriknya matahari yang membakar kulit - kulit hitam mereka, membuat wajah mereka terlihat nanar, merah bercampur hitam, di sapu angin dan debu jalanan setapak itu. Orang tua mereka tak keberatan, tak ada yang mencari dimana anakku, tak ada yang menyuruh untuk tidur siang, apalagi belajar mengerjakan PR.

Apakah kalian pernah menjadi sepertiku? Menjadi seorang anak yang selalu di larang untuk mengerjakan sesuatu yang membuat kita senang, namun tidak bagi mereka para orang tua? Aku pernah. Aku pernah membenci orang tuaku sendiri, lantaran aku di larang main sepeda bersama kawan kawanku setelah pulang sekolah. Setiap aku pergi bermain bola, baru satu putaran permainan, suara ibuku sudah melengking menyuruhku pulang. Malu, itu pasti. Disebut anak mami, begitulah diriku.

Aku iri pada kawanku, Kholil. Semua permintaannya di turuti orang tuanya. Semua keinginannya, di penuhi juga. Orang tuanya tak pernah memaksakan apapun. Gayanya bak jutawan. Bajunya rapi selalu masuk celana, di ikat dengan tali pinggang. Model rambutnya, selalu kekinian. Baunya selalu harum. Berbalik seratus delapan puluh derajat dengan diriku.

"Aku takut sama ibumu, nanti kena marah", papar Kholil, masih dengan gayanya yang sok borjuis, duduk bersila di atas dipan di belakang rumahku. Baru sekarang ia mengutarakan alasannya tidak mengajakku bermain bola di dusun tetangga waktu itu. Dua puluh tahun yang lalu.
"Bukan. Kau pasti mengira aku tak bisa bermain bola. Padahal, setidaknya aku bisa jadi kiper". Kataku menolak alasannya.
"Kenapa kau tak bilang, dulu?", tanyanya padaku.
Aku diam, sambil menghisap cerutuku dalam - dalam. Aku masih ingat, aku memang sering kalah ketika bermain bola. Setiap kakiku terluka entah karena saling tendang, atau luka terjatuh, aku menangis, dan mengadu pada ibuku. Hasilnya, mereka kena marah ibuku, atau nenekku.

Selain itu, aku juga tahu. Kholil anak orang kaya, komplotannya juga anak orang kaya. Apalah diriku, yang hanya mengemis sejumput mie instant yang di remas mereka waktu itu. Semangkok bakso yang mereka telan, hanya menyisakan aroma di bau mulut mereka. Yang sesekali mereka hembuskan tepat di depan hidungku. Hahh.

Suatu ketika, komplotan Kholil mengajakku berpetualang di ladang. Petualangan yang lebih layak disebut kelayapan itu, tak mungkin mendapat izin dari ibuku. Tapi, di sela - sela waktu tidur siangnya, aku bisa.

Meskipun aku harus ikut terbakar panas matahari, tak menyurutkan tekadku untuk bergabung dengan mereka. Dan benar saja, di tengah ladang - ladang terbuka, panasnya bagai di panggang di atas seng yang di bawahnya bara api memuncratkan titik panas maksimum melebihi seratus derajat selsius. Aku harus berpura - pura biasa saja, di hadapan mereka yang terlihat tenang dengan teriknya sinar matahari di atas kepala. Satu persatu dari mereka mulai memetik ketimun. Mereka sangat cepat, dalam semenit saja, ada yang sudah mengantongi sepuluh buah ketimun, ada yang lima buah. Aku sepertinya yang hanya mendapatkan dua buah. Tiba - tiba ...

"Whoy...!!!maling....maling!!!".

Semua kawanku berhamburan berlari dengan kecepatan rusa jantan, menjauhi pak tani yang memergoki kelakuan kami. Mencuri. Sebuah istilah yang tak sempat ku pahami waktu itu. Sedangkan aku, aku memang bodoh. Aku lupa apa yang ku pikirkan saat itu hingga aku harus berdiam di tempat, tidak mengikuti mereka yang telah melaju lebih dulu. Inilah hari sialku. Pak tani pun mencekalku. Aku menjadi tersangka, tanpa bantuan hukum, tanpa pembela, aku di bawa ke sidang istana.

"Oy...Sardi. Ini anakmu?", tanya pak tani pada orang tua palsuku. Karena aku berbohong ketika di tanya anak siapa aku.
"Bukan, ini anak wak Limin",  jawabnya kemudian," emangnya kenapa dia?".
"Dia mencuri ketimunku".
"Ah nggak mungkin, aku tahu siapa Irul. Dia anak baik, nggak mungkin mencuri".
"Ya sudah, bilang sama orang tuanya, dia memang mencuri. Kalau tidak, bagaimana aku bawa dia kesini? Sudahlah aku ke ladang dulu".

Pak tani pun berlalu. Aku menatap wak Sardi. Aku ketakutan setengah mati. Bukan takut di bui atau di hukum mati. Aku takut ibuku.
"Rul, sana balik. Jangan kelayapan lagi ya. Aku nggak akan bilang sama ibumu". Aduh baiknya wak Sardi. Aku pun segera pulang setelah mengucapkan terima kasih.

"Kau itu memang culun, Rul. Masak kau lihat kita berlarian kau diam saja? Nggak cerdas amat sih?". Khalil mengejekku dengan canda tawanya yang renyah.
Kami duduk di belakang rumahku. Bayang - bayang dedaunan pohon belimbing yang tertiup angin, menari - nari di atas dipan yang kami duduki. Kami pun hanyut dengan peristiwa dua puluh tahun lalu.
"Trus, kau dimarahi ibumu? Penampilan kamu pasti aneh waktu itu".
"Ibuku tidak marah, beliau kan nggak tahu".

Waktu telah memisahkan kami cukup lama. Aku sekolah di Mesir, dia merantau di Kalimantan. Idul fitri telah mempertemukan kami di desa kelahiran ini. Desa tempat kami bersekolah dasar, bermain, dan berlaga.

Bahkan, aku memilih bermain masak - masak bersama anak perempuan disamping rumah tetanggaku. Ibuku tak akan memarahiku, karena permainan ini bukan jenis permainan yang mengharuskan kelayapan. Setiap kali aku minta sekaleng beras, sedikit tepung, atau minyak goreng, dengan senang hati ibuku memberinya. Namun jujur, bermain masak - masak itu menyenangkan. Tak ada saling tendang, yang berujung sakit. Tak ada saling mengejek, karena di situ bukan permainan kalah atau menang. Yang ada hanyalah senang dan kenyang. Permainan inilah yang menjadi pelarianku ketika aku tersingkir dari zona permainan anak jantan, kata mereka.

"Kau sekarang sudah sukses Rul, lulusan Mesir. Mana ada kawan kita yang berhasil sekolah tinggi macam kau. Kabarnya kau mau nikah?, dengan siapa?".
"Hmm, nanti kau juga tahu. Kau sendiri? Masih bujang? Betah banget sih".

Aku menatapnya menghela napas panjang. Ia mulai merebahkan tubuhnya di atas dipan yang kami duduki. Udara panas di siang hari menyapu wajah kami yang seketika sunyi.
"Aku memang masih bujang Rul, karena aku belum pernah menyentuh isteriku sama sekali sebelum dia kabur dari rumahku".

Dahiku mengernyit, namun ku simpan pertanyaanku dalam dalam di otakku. Kholil masih ingin melanjutkan ceritanya. Tanpa berkata apa - apa, ku beri dia kesempatan untuk mengungkap segalanya.

"Kau tahu? Gadis yang sama - sama kita incar dulu?". Tanya Kholil masih sambil berbaring.
"Lani maksudmu?".
"Ya. Kau benar. Keluargaku telah bersusah payah melakukan apa saja demi aku agar bisa menikahi dia. Dia terlalu banyak syarat. Aku harus sudah punya rumah sendiri, punya pekerjaan, punya kendaraan, perhiasan pun dia minta. Semua sudah aku turuti. Harta orang tuaku habis untuknya. Entah kenapa aku harus memilih dia, yang akhirnya meninggalkanku".

Aku masih tak berkomentar apa - apa, sambil sesekali ku lirik ponselku yang bergetar tanda pesan masuk. Pesan dari Lani. Gadis yang sama - sama kami incar sejak SMP dulu. Gadis yang terlampau cantik dengan model rambut yang selalu baru. Hinar binar matanya yang hitam legam menatap tajam. Senyumnya yang menawan kala menyapa kami. Raut muka yang sedikitpun tak pernah merasa sedih. Tanganku pun bergetar bersama getaran ponsel di genggamanku.

Aku sempat bertaruh dengan Kholil. Aku yang akan mendapatkan Lani. Namun, takdir harus memisahkan aku dengan Lani. Karena tujuan sekolah lanjutan kami berbeda.

"Setelah menikah, Lani tak mau kusentuh walau sedikit. Dengan alasan masih belum siap, atau sedang tidak enak badan, atau entahlah. Ternyata, belum seminggu kami menikah , ia kabur dengan membawa semua uang, dan perhiasan. Aku syok".

Aku juga syok. Dengan segenggam cinta yang ku rajut bersama Lani. Kholil tak menyadari, bahwa cintanya ada dalam genggamanku. Mulutnya masih mencaci maki mantan isterinya, yang sekaligus calon isteriku. Suaranya terdengar seperti lebah mengiang hendak menyengatku. Siapa sangka dia adalah dia. Dia adalah mantan isterimu. Dia adalah calon isteriku. Dia adalah gadis yang sama - sama kita idamkan dulu.

"Sekali lagi jika aku bertemu dengannya, pasti akan ku ludahi mukanya. Juhhh".

Seketika ludahnya telah masuk dalam mulutku. Aku hanya bisa menelan ludah yang entah ludah siapa yang tersangkut di kerongkongan. Hatiku semakin tak karuan.

"Kalau kau bertemu dengannya, bilang padanya, akan ku potong lidahnya. Yang pernah membujukku menyerahkan semua harta orang tuaku hanya demi menjadikannya isteri. Juhh".

Sekali lagi aku menelan ludah entah ludah siapa yang tersangkut di kerongkongan. Hatiku semakin tak karuan.

"Semoga isterimu nanti nggak seperti Lani, Rul. Semoga kau tak senasib denganku. Oya, kau belum kasih tahu siapa calon isterimu?".

"Hahahaha.... nanti juga tahu".
"Jangan - jangan calon isterimu jelek, miskin, janda. Pakai di rahasiakan segala, Rul".
"Calon isteriku cantik, lemah lembut, berjilbab, dan baik hati".
"Bagus, bagus, yang penting jangan seperti Lani". Kata terakhir yang ia ucapkan sebelum berpamitan pulang.

Hatiku seperti di tikam belati tajam. Menatap punggung Kholil yang pergi meninggalkanku, aku seperti kehilangan. Ia seperti bukan temanku lagi. Dari kejauhan, ia lebih mirip singa yang setiap saat siap menerkamku. Meskipun, saat ini belum tahu aku lah mangsanya.

14 Oct 2016

Obat Rindu Kawan Lama

Klopoduwur, dimasa pasukan kumbang menyerang habis seluruh pohon kelapa di desa ini. Berusaha menghilangkan jati dirinya. Hal itu membuatku sedih. Terlebih saat jasadmu ikut - ikutan diserang bala. Sia - sia saja kupaksa kau minum obat.
"Kesembuhan tidak akan menyelamatkan dari kematian", katamu.
"Benar. Semua orang pasti mati. Aku pun begitu, meskipun aku masih muda. Tapi Allah memerintahkan kita untuk berobat, kala kita sakit".
"Aku sudah berobat", ujarmu lagi.
"Obat apa? Obat dari mantri kau buang. Obat daun kumis kucing, daun mangkokan, daun ginseng, kau muntahkan. Obat yang mana?", tanyaku kesal.
"Obat rindu, nduk. Aku rindu kawan lamaku. Ini hanya jasad, tak perlu kau risaukan. Aku yang sebenarnya, sama sekali tidak sakit".
"Minumlah obatnya pak, sekaliiii.....saja", pintaku bersimpuh kepangkuanmu, menyentuh tulang - tulang yang hanya terbungkus kulit. Lima tahun bergulat dengan penyakit, stroke,hernia, batu ginjal, darah tinggi, komplikasi. Kau masih bilang tak sakit. Setiap hari kau menghisap racun sembilan senti.
"Rokok itukah obatmu, pak?", Napasmu tersengal - sengal. Batukmu mirip mengi seekor kucing. Nyaring ditelingaku. Tubuh kurusmu pun terguncang dibuatnya.
"Bukan, rokok hanyalah teman", sambil menahan batukmu.
"Lalu, anakmu ini bukan teman?", menjagamu setiap malam, mengajakmu bercerita, mengingatkanmu agar minum obat, meski tak pernah kau turuti.
"Bukan", aku tercengang. " kau adalah anakku, yang akan meneruskan sisa - sisa hidupku nanti. Menemani emakmu setelah aku pergi".
" Jangan bicara lagi, pak. Napasmu seperti mau hilang, istirahatlah", suaramu sudah tak jelas kudengarkan. Karena mulutmu kaku. Entah makhluk mana yang telah membengkokkan tulang rahangmu. Semua kata yang keluar dari mulutmu terdengar sama. Namun aku mampu menerjemahkan.
" awka lawva", aku lapar. Ucapmu dalam bahasamu. Kau hanya mau makan mi instan. Berkali - kali aku larang, kau pilih selamanya tak makan. Itu yang aku tak mengerti. Makan nasi, tak mampu menelan, kasar, katamu. Makan bubur, kau muntahkan, hambar, kau bilang.
***
Sebelum mulutmu kaku. Makanan kesukaanmu adalah singkong, yang ditumbuk halus, dan padat menjadi gemblong, atau gethuk. Emak sangat rajin bersusah payah membuatnya untukmu. Kau juga menyukai barang - barang antik. Jam dinding besar dan panjang, terbuat dari kayu, setiap berdentang dua belas kali ditengah malam, buluku begidik dibuatnya. Lampu petromak, sepeda ontel Oemar Bakri, kau bilang. Dan geledek - lumbung padi besar - yang sekaligus kau jadikan meja diruang tamumu.
"Aku kangen sedulur - saudara - ku, Soerosentiko. Biasanya kalau bulan suro, ia pasti mengajakku ke peguron adam di Karang Pace. Bersama sedulur sikep - sesama saminis - yang lainnya".
"Ngapain aja dipeguron adam, pak?", tanyaku setengah malas.
"Belajar agama islam, dan membentuk gerakan anti Belanda ". Dahiku mengernyit.
"Dimana dia sekarang?".
"Orangnya sudah mati, berpuluh - puluh tahun yang lalu", bibirku seketika melingkar , " diasingkan di Padang, di Sawahlunto, oleh pemerintahan Belanda kala itu. Mungkin sekarang ada disana makamnya". Katamu, sebelum mulutmu kaku.
"Kok mungkin? Ya pastilah".
"Entahlah, kawan - kawanku sudah pernah ada yang melacak, namun tak ketemu dimana makamnya". Kau pun merenung diatas kursi panjangmu, tanpa menghiraukan aku yang tengah sibuk menyiapkan makan malam.
Anganmu melayang sampai entah kemana, yang tak sengaja menyeretku mengikuti alur cerita di kepalamu. Kau mungkin masih trauma, menyaksikan penyiksaan yang dilakukan oleh kaum Belanda putih dan hitam kepada segenap sedulur sikepmu. Kau tak bisa berbuat apa - apa, karena kau tak mau kehilangan sejarah dirimu sendiri. Melahirkan aku, adalah tujuanmu. Menjadikanku buku - buku sejarah yang mencatat setiap jengkal napasmu.
Atau kau sedang menyusun strategi baru, untuk melawan Belanda masa kini. Ah, pasti bukan itu yang kau pikirkan.
Ah, Soerosentiko. Aku yakin kau sedang memikirkannya.
Kau rela membiarkan jasadmu lumpuh, membuang seluruh butir obat yang diberikan mantri.
"Soerosentiko, dulu bapak masih sering main ke Ploso, meskipun ia sudah tiada. Menyaksikan kepergiannya, wajah lemasnya, rantai besi yang mengikatnya, kala serdadu Belanda menyeretnya dan membuangnya, seharusnya bapak bersamanya".
"Menyesal karena tak bisa menolong? Atau menyesal masih hidup?".
"Bukan. Aku sengaja dihidupkan agar aku bisa menorehkan tinta - tinta sejarah kami sepanjang perjalananku. Kaulah yang akan menjadi buku tulisku".
***
Benar. Tinta emas yang kau goreskan dilembaranku, abadi. Sampai penolakanmu meminum obat, pasti karena dia. Kau sekarang tengah merindukannya. Meski obatnya bukan made in Belanda, kau masih membuangnya.
"Kenapa kau berikan barang itu lagi?".
"Apa bapak merindukan kawan lama? Kalau dia masih hidup, pasti dia menyuruhmu minum obat".
"Tapi dia sudah mati. Kau hanya seorang anak yang peduli bapakmu, kau tak mengerti perjuangan seorang kawan, demi menjaga tanah leluhur kita. Kau tak mengerti hutan - hutan jati disepanjang jalan Randublatung itu dulu milik siapa. Kau tak mengerti, atau belum mengerti...".
"Besok mantri mau kesini, pak. Memeriksa kondisi bapak".
"Siapa lagi itu, aku tak butuh dia. Aku hanya butuh istirahat".
"Istirahatlah kalau begitu", namun tetap saja mantri kuminta datang memeriksamu. Kondisimu semakin lemah. Untuk berjalan kau sudah tak mampu. Buang air kecil dan besar ditempat tidurmu. Untuk bangun saja harus kubantu menegakkan punggungmu disandaran kursi. Matamu sudah kabur, adikmu sendiri kau bilang orang lain. Antara emak dan aku hanya beda suara. Aku hanya melakukan yang semestinya, sebagai anakmu.
"Kita cek dulu pak tensinya", mantri mulai memeriksamu. Kau pun terkulai lemas diatas kursi kayu. Seperti pasrah ketika kelopak matamu di paksa membuka, lidahmu dipaksa menjulur meski susah, mulutmu kaku. Ketika dokter hendak memasang selang yang menjadi jalur aliran air senimu, kau memberontak.
"Jangan! Jangan kau lakukan itu. Aku bukan tahananmu, kau tak boleh seenaknya mempermainkan jasadku, pergi kau dari sini". Kau mengamuk sekenamu. Tak ada yang bisa memahami bahasamu. Hanya aku sendiri, menatapmu yang melinangkan air mata. Aku pun terduduk lesu. Mantri harus pergi, ia meninggalkan resep yang harus kau minum setiap hari.
Kau kembali mengerang seperti kesakitan. Kuraih tanganmu yang gemetar, mencairkan bulir keringat yang membatu dihati dan ginjalmu. Soerosentiko, seandainya dia menyaksikanmu saat ini, pasti kau sembuh seketika.
"Soerosentiko sering main kesini nggak, pak?", kupancing pita suaramu yang tenggelam didasar laut hatimu. Umpanku tersangkut.
"Memang disinilah, di Klopoduwur ini, kami memulai pergerakan itu. Pergerakan orang - orang samin untuk melawan kekejaman Belanda putih dan hitam". Belanda hitam, kau menyebut orang pribumi yang rela menyiksa saudara sebangsa sendiri. Menjadi antek penjajah negeri ini. Kau selalu semangat menceritakan tentang dia. Akupun akan setia merekam setiap alur cerita yang kau susun menjadi sebuah film drama yang kuputar di bioskopku sendiri.
"Kami tidak mau membayar pajak, karena ini tanah kami. Warisan dari keturunan pandawa kepada Sunan Kalijaga. Kami membelot dari pemerintah Belanda. Orang - orang seperti Soerosentiko, memelopori perlawanan dengan tanpa kekerasan. Tapi dengan cara pekok, kepada Belanda. Sampai sekarang wong samin masih dibilang pekok, namun kami tetap bangga. Bukan seperti orang - orang yang bilang anti penjajahan, namun membiarkan dirinya terjajah tanpa mereka sadari", ceritamu mengalir bersama hembusan angin sepoi - sepoi yang menyibak - nyibak kain korden kamarmu. Mengiang - ngiang bagai suara igau anak kecil yang minta dibelikan mainan. Aku tetap setia mendengarkanmu, dialam mimpiku.
***
"Nduk, tolong buang kotoran bapakmu", pinta emak dari dapur. Aku masih sibuk menjemur pakaian. Kau mengerang lagi, " hwa, hwa, hwa!!!".
"Sabar , pak. Kalau habis jemurannya". Kau kembali diam.
Setelah habis jemuranku, kuhampiri dirimu terduduk lesu meringkuk diatas kursi panjang sekaligus tempat tidurmu. Pilu. Kuambil sarung penutup tubuhmu, yang bergelimang kotoranmu sendiri. Aku tak pernah jijik, hanya kuhentikan napasku sesaat sampai kubuang kotoranmu.
Kau seperti kedinginan. Terdengar dari suara dan mulutmu yang bergetar. Kubersihkan badanmu, dan kubalut dengan pakaian kesukaanmu. Kemeja putih, dan sarung lurik hadiah dari pakdhe dulu. Kau pun berbaring, berselimutkan kain jarit panjang yang menutupi ujung kaki hingga lehermu.
Lembayung senja mengikis garangnya mentari yang membakar bumi. Sekawanan ayam berebut masuk kekandangnya. Kumandang adzan maghrib pun terdengar di musholla. Kau masih tidur, atau tiduran dengan mata yang selalu terpejam.
"Makan, pak?", tanyaku. Kau hanya menggeleng dan bergumam lirih. Kutinggalkan kau sendiri. Aku akan berdoa semoga kesembuhan jasadmu segera dipenuhi oleh Sang Maha Kuasa.
Pukul sembilan malam, kau masih dalam posisimu. Kau seperti mengigau lirih, aku pun berusaha membangunkanmu. Tapi kau hanya bergumam "hem", aku mengerti. Aku semakin tak kuasa meninggalkanmu. Kubacarakan surat yasin disampingmu. Kuajak kau bercerita, namun kali ini aku yang bicara. Kau pendengar setia, sampai suara jangkrik mengerik memecah keheningan malam, tiba - tiba kau menjawab salam "waalaikum salam". Tak ada yang mengetuk pintu apalagi mengucapkan salam, ah, kau mengigau lagi. Aku pun tertidur disampingmu.
Adzan subuh memanggilku dari dalam mimpi dan membawaku kedunia menatap waktu. Pukul setengah lima pagi. Kulihat wajahmu, terlihat teduh, tenang, tak ada keriput. Dimana keriputmu? . Rahangmu seperti kembali, mulutmu tak menceng lagi. Aku merasa doaku telah dikabulkan. Akupun mencium tanganmu. Dingin, kaku.
Tubuhku terkulai, lemas. Kau telah meminum obat rindu itu, menyusul sahabat karibmu di kehidupan bukan jasad lagi. "Bapaaa...k!!!".
Umi Maghfirotin, lahir 3 mei 1988 di desa Klopoduwur, Banjarejo, Blora. Menamatkan pendidikan dasar di sd Klopoduwur, selanjutnya di Mts Maarif 2 Blora,dan melanjutkan ke MA Raudhotul Ulum Pati, Jawa tengah. Menempuh pendidikan terakhir di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Saat ini aktif mengajar tahfidz al-qur'an yang standnya di rumah sendiri di SumSel, dengan alamat Jl. Palembang - Jambi D2 duaun 4 RT:021 RW:004 Kelurahan Bukit, Kecamatan Betung, Kabupaten Banyuasin. Mulai suka menulis sejak SMU, sampai sekarang.

12 Oct 2016

Karneih

Musim dingin di kota Kairo. Dengan suhu paling rendah 4 derajat celcius. Puncaknya di bulan Januari. Bersamaan dengan diselenggarakannya ujian termin awal bagi mahasiswa Universitas Al Azhar, Kairo. Dingin, dan kering. Tak ada hujan. Seluruh kulit terasa bersisik ketika diraba. Permukaan bibir akan pecah, koyak dan berdarah, jika tak rajin mengoleskan lip balm atau mosturizer bibir. Jaket kulit tak mampu menjadi tameng penghalang hawa dingin. Minimal tiga lapis pakaian yang harus dikenakan ketika berada diluar rumah.
Pohon - pohon Erythrina caffra, pohon Karang Afrika menyisakan ranting setelah ribuan daunnya berjatuhan disepanjang musim gugur, bunganya yang merah merona membalut setiap ranting tak berdaun diatas ketinggian lima meter. Dibawahnya nampak seorang gadis, tengah memelototi buku diktat tebal dipangkuannya. Hafalan mukorror - buku diktat - terdengar disetiap sudut asrama puteri khusus delegasi.
Nabila, salah satu mahasiswi tingkat tiga, sedang tergesa - gesa untuk berangkat ujian, meski ia sedang terkena hassasiyah - alergi musim dingin - yang menyerang kulit luarnya, menimbulkan rasa panas dan gatal. Pakaian tiga lapis, jaket wol, jilbab lebar, syal, sarung tangan, masker - penutup hidung dari hawa dingin agar tidak kering - kaos kaki, sepatu, harus lengkap tak boleh kurang satupun. Karena di arena terbuka, segala kemungkinan hal tak terduga harus di antisipasi sebelumnya.
Didalam tramco - angkutan umum - sambil menghafal materi - materi ujian, saking fokusnya, sampai tak terdengar teriakan sopirnya.
"Ya anisa!!! Kulliyah dih, nazlah wala la a?", hey, gadis perempuan, ini sudah di kuliah, mau turun apa nggak?. Seru sopir tramco mengejutkan Nabila.
" aywa ya astho, syukron", ya, pak. Terima kasih.
Nabila bergegas turun dan menuju pintu gerbang kampusnya. Ia masih harus berjalan lima puluh meter untuk sampai ke pintu gerbang, diatas trotoar selebar jalan raya. Lalu lalang para mahasisiwi silih berganti, keluar masuk gerbang kuliah. Para pengemis pun bertambah dari hari biasa, berjajar disepanjang dinding pagar. Mereka sering memanfaatkan momen ujian untuk meminta sedekah. Karena mereka tahu, masa ujian adalah puncaknya gairah beramal bagi para mahasiswi. Mereka percaya, bukan hanya lembaran kertas jawaban, yang menentukan kelulusan. Namun ada faktor X dan Y, titik koordinasi antara manusia dan Tuhannya.
Nabila berjalan menaiki sebuah tangga digedung fakultasnya. Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Al Qur'an. Sesekali memberikan salam kepada setiap dosen yang kebetulan berpapasan dengannya.
Didalam ruangan ujian, ia kembali menelaah materi ujiannya, sambil menyiapkan segala keperluan ujian. Pena, penggaris, karneih -kartu ujian.
"Aduh maak!!! Karneih nya lupa. Paspor juga lupa. Nabila...mikirin apa aja semalam, semua jadi lupa".
Ia mempercepat langkahnya untuk segera keluar gedung, pulang ke asrama, dan mengambil kartu ujian. Masih ada waktu seperempat jam, harus bisa terkejar. Karena ujian tidak bisa diikuti jika tidak membawa identitas diri. Kecuali ada saksi. Minimal empat saksi yang harus menyatakan bahwa anak ini adalah mahasiswi disini dan mengikuti ujian di ruangan ini.
GRUDUGG. DAAR!!! Gemuruh di langit Kairo memberikan tanda akan turunnya hujan. Hujan terhitung langka di sini, namun sejak dua tahun terakhir, gerimis sesekali jatuh di kota ini. Nabila terus berlari setengah panik menuju halte. Barisan otobus dan tramco memenuhi depan halte, namun tak satupun yang menuju asrama tempat Nabila tinggal.
"Ya Robbi. Kasihanilah hambamu ini ", pekiknya dalam hati. Langit semakin gelap, awan hitam menjalar dari ujung timur ke barat. Semilir angin musim dingin menggigit tulang - tulang berselimut jaket lusuh yang disapu butir debu di kota Kairo. Bulir - bulir mutiara air yang terbawa angin membentuk goresan diagonal diatas jalan hitam. Hujan.
Air hujannya memang tak sederas hujan di Indonesia. Tapi sangat dingin. Setiap tetesnya membawa buliran debu yang terbang bebas di udara. Tak pelak, setiap pakaian yang terkena tetesannya, pasti membentuk bintik - bintik coklat perpaduan antara air dan debu padang pasir.
Nabila masih berdiri di halte. Sekian nomer telepon temannya yang diasrama dihubungi untuk dimintai pertolongan. Waktu masih sepuluh menit lagi. Tak satupun yang mengangkat telponnya, mendengarkan seruan Nabila meminta pertolongan. Semuanya tengah sibuk dengan mukorror , biasanya handphone dimatikan saat kondisi belajar.
Nabila tak punya pilihan. Ia harus mengambil alternatif sambung kendaraan, dengan menaiki bus jurusan mana saja yang menuju halte wilayah terdekat dengan asrama. Kemudian naik tramco dari wilayah tersebut menuju asrama.
Roda bus seakan begitu lambat jalannya. Berjejal dengan penumpang lain yang tak kebagian tempat duduk, adalah hal paling menyebalkan bagi Nabila. Matanya terus mengarah keluar jendela, seolah ikut memacu kecepatan minibus yang dinaikinya. Sesekali terdengar umpatan - umpatan orang Mesir tentang hujan yang membuat kotor jaket - jaket mahal mereka.
Sampailah Nabila di asrama. Karena lupa menaruh karneih nya dimana, seluruh rak buku di obrak abrik tanpa ampun. Selembar dua lembar buku dibolak baliknya, namun nihil hasilnya.
" Dimana karneih ku?!!!", Nabila menggerutu sendiri, sampai ingatannya pulih kembali.
" jaket hitam. Ya, di jaket hitam", barulah akhirnya ia teringat jaket hitam yang sempat ia gantung di kamar mandi dan lupa mengambilnya. Diliriknya jam tangan. Tiga menit lagi.
"Harus sampai. Harus sampai. Ya Allah, berikan aku kecepatan tinggi", dengan terburu - buru ia menuruni tangga di asrama. Sapaan petugas asrama pun tak digubrisnya. Kali ini ia harus naik taksi, agar lebih cepat sampai di kuliah. Ia tak lagi menghafal materi, hanya doa mohon dipercepat yang selalu dipanjatkan. Sekitar lima belas kilometer, jarak asrama dengan kuliah. Namun, sayang, jalanan macet. Dua orang paruh baya bertengkar ditengah jalan, lantaran tak terima mobilnya diserempet oleh yang satunya. Pihak satpol berusaha melerai mereka. Namun adu mulut seakan tak ada ujungnya. Masih macet.
Selama lima belas menit terjebak diantara deretan mobil - mobil kota. Suara klakson melengking berkali - kali memekikkan telinga. Terbayang dibenak Nabila, lembar soal dengan nomer satu sampai dengan lima. Setiap nomer memiliki anak a, b, c, d, dan e. Setiap anak memiliki karakter berbeda. Anak pertama, minta cerita. Anak kedua sebutkan sampai berapa, anak ketiga bagaimana pendapatmu, anak keempat berikan contoh yang sesuai, sedangkan anak kelima siapa saja tokoh dibaliknya. Ah, kenapa tak sampai juga.
Ia baru sadar, kalau sopir taksi mengambil jalur memutar menuju kuliahnya. Alih - alih cepat sampai, ia malah diajak jalan - jalan mengelilingi jantung kota. Sopir yang curang, mengambil jalur panjang, agar cargonya juga ikut panjang.
" ya astho, kenapa lewat jalur sini? Saya kan minta langsung kekuliah?", tanyanya gusar.
" iya, ini kekuliah. Bentar lagi sampai".
" saya tau jalur ini, saya tidak bodoh. Seperempat jam lagi baru akan sampai ke kuliah, itupun kalau tidak macet. Saya ini ujian, saya terburu - buru. Bapak malah ngajak saya muter - muter. Haram alaik, ya astho". Tidak boleh begitu dong pak.
" maalesy ya sity, sorry sorry, saya akan percepat mobilnya", sopir taksi itu meminta maaf.
Masih dengan menggerutu, Nabila terus berdoa agar diberi kemudahan. Tidak ada jalan pintas, jalur memutar tetap harus ditempuh.
Dua ratus meter lagi menuju pintu gerbang kuliyah. Roda depan mobil taksi bocor. Nabila memilih turun dan lari sekencang kencangnya. Dalam hatinya, ia berdoa, semoga masih diperbolehkan mengikuti ujian. Terlambat hampir satu jam.
"Assalamu alaikum", Nabila mulai memasuki ruangan.
"Waalaikum salam, aywa ya anisa", jawab pengawas ujian.
" maafkan saya, saya terlambat. Tadi saya sudah kesini, tapi lupa membawa karneih. Lalu saya pulang ke asrama, di perjalanan macet, jadi saya terlambat. Bolehkah saya mengikuti ujian?".
Kedua pengawas nampak berbisik - bisik mengisyaratkan sesuatu.
" sebaiknya kamu ke dekan fakultas. Minta izin sama beliau, ceritakan kronologimu, dan setelah mendapatkan izin, baru kesini lagi".
Aku tak pernah berharap seperti ini. Aku sangat payah. Payah.
Dengan langkah gontai, Nabila menemui dekan fakultas. Setelah mengucapkan salam, ia menceritakan seluruh kronologinya, dan nampaknya dekan fakultasnya memahami kondisi Nabila. Bersama dekan, Nabila berjalan menuju ruangan ujian. Nabila dipersilahkan duduk dan mengikuti ujian. Nabila pun tak henti - hentinya mengucapkan terima kasih pada ketiga orang itu. Lega.
***

10 Oct 2016

Bintang Dasri

Bintang itu telah ditakdirkan jatuh. Berkali - kali jatuh, menerjang komet, menyerempet asteroid, menembus ribuan galaksi, hingga berguling di pangkuan ibu yang kusebut bumi. Meluluh lantakkan tatanan isi dada dan perutnya.
Lima tahun aku menunggunya, menunggu bintang itu. Ribuan hari aku menangis siang dan malam, bermunajat dan memanjatkan doa. Akhirnya dia datang, dengan dua sandi bertinta merah diatas tempatku mengadu nasib. Kepayahan, menjadi pesakitan, pingsan, siuman, kehadirannya mengukir bahagia diatas derita sesaat yang ku alami.
Sayangnya, kebahagiaan itu pun tak berlangsung lama. Seratus lima puluh hari, rumahku penuh cahaya bintang itu. Lima bulan, ia kehabisan energi. Sang Pemberi Cahaya memudarkan cahaya putihnya, yang selama ini berkelap kelip di laman monitor rumah sakit. Manusia berbaju putih, menyampaikan berita, bahwa aku tak mampu menerima kehadirannya. Aku terlalu lemah. Ketika dia menyatakan kepergian bintangku, aku seperti mati.
" maaf pak Dasri, isteri anda mengalami pendarahan hebat. Kemungkinan kami harus mengangkat bayinya. Berdoa ya pak".
" tolong, dokter. Lakukan yang terbaik".
Mereka bukan Tuhan, mereka bukan menakdirkan jalan hidupku. Mereka hanya menyampaikan berita atas takdirku. Semua usaha telah dilakukan. Bintangku, buah cintaku, calon bayiku, telah dikeluarkan dan sempat di inkubator beberapa menit. Namun Tuhan memanggilnya sebelum aku sempat melihat, bahkan menciumnya.
***
"Cinta, bangunlah. Sudah jam enam, nggak baik tidur terlalu lama. Cepatlah mandi, nanti kita main kerumah ibu. Rasanya kangen sama beliau", suamiku, tak henti - hentinya mencarikan sarana hiburan untuk sekedar membukakan mataku akan masa depan dan harapan yang masih akan datang. Melupakan kepergian bintangku.
"Sayang, ayolah", suamiku tak akan tahan melihatku yang tak mau berkutik. Tangannya yang lembut tak pernah putus asa menggandeng tanganku yang rapuh menuntunku sampai ke kamar mandi.
Di meja makan, santapan yang paling kusukai, ah, tak selera.
" kemarilah, abang masak mi goreng spesial buat cintaku yang lagi cemberut. Dijamin, langsung jatuh cinta makan mi goreng abang".
" bukan sama mi nya bang, tapi cinta sama yang masak".
" eh, keluar suaranya...".
" maafin Tika bang, belum bisa ngebahagiain abang".
" siapa bilang? Sejak abang merasakan cinta pertama denganmu, abang sudah sangat bahagia. Meminangmu, dan menjadikanmu sebagai isteri, abang teramat bahagia. Sampai sekarang, bisa menemani isteri abang, abang sungguh bahagia. Bahagia itu sederhana, Antika. Bersyukurlah, nanti Allah akan melipatgandakan kebahagiaan kita. Yang sudah ya sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Toh, masih ada kesempatan. Ayo makan ".
Menyembunyikan kesedihan bukanlah hal yang mudah. Apalagi bukan bakatnya. Tapi ia selalu tegar, tepatnya berusaha terlihat tegar dihadapanku.
Kabar bintang pun, melesat dan sampai ketelinga ibuku. Pastilah beliau bersusah hati melihat keadaanku.
" Antika, puteriku. Kau baik - baik saja nak?", ibuku menyambutku dengan pelukan eratnya.
" iya buk, Tika baik kok. Ibuk kok tambah kurus? Ibuk pasti kumat lagi nggak mau makan, ya?", kataku mengalihkan pembicaraan.
" dari dulu ibukmu ini kurus. Ibuk kangen sama kamu. Apalagi, setelah...".
" jangan dipikirkan, buk. Semua kehendak Allah. Semoga Allah memberi kesempatan lagi buat Tika".
Tiga gelas teh disuguhkan diruang tamu. Adikku, Raka menyalamiku.
" katanya Raka sudah kerja, kerja dimana kau?", tanyaku pada adik semata wayangku.
" di toko bangunan, kak. Milik pak de Gani".
" baguslah. Biar ada yang bantu ngasih duit ibuk belanja".
" belanja apa? Uang gaji bapakmu saja sudah cukup. Biar saja disimpan duitnya, buat masa depan", kata ibukku menyela.
" masa depan yang mana buk?", tanya Raka menggoda ibuk.
" ya menikah", jawab ibuk singkat.
" ha ha ha ha", selalu ada canda tawa disetiap kepenatanku, namun hatiku tak kunjung redam. Selalu ada kebahagiaan ketika berkumpul keluarga. Akupun betah berhari - hari disana.
***
Lima tahun kemudian. Kesempatan kedua telah datang, alhamdulillah. Cahaya putih kembali berkelap kelip di laman monitor USG. Tanda kehidupannya semakit kuat, pekat.
Usia kandunganku sudah melewati lima bulan, aku senang bukan kepalang. Sampai tujuh bulan berjalan, bayi dalam kandunganku semakin aktif bergerak. Perutku nampak begitu besar sedikit lonjong, dilihat dari depan. Kata orang tua, biasanya bayinya itu laki - laki.
Menurut dokter, bayi yang lahir usia tujuh bulan bukanlah prematur. Namun, justeru yang lahir usia delapan bulan disebut prematur. Tujuh bulan hampir menginjak delapan bulan, aku terus berdoa semoga bayiku selamat. Kuhantarkan tidur malamku dan bayiku dengan lantunan surat al - waqi' ah yang sudah kuhafal. Semua kejadian telah ditakdirkan, dan tidak dapat diingkari. Kedatangannya tak perlu kita tunggu. Kepergiannya pun tak perlu kita tangisi. Kecuali manusia lemah sepertiku.
Suara adzan subuh memanggilku kembali untuk mengingat Sang Maha Kuasa. Sebenarnya masih terasa berat mataku kubuka, namun tetap kupaksa karena sudah waktunya menghadap kepada Nya. Tak lupa kubangunkan buah hatiku yang tercinta, untuk senantiasa bersyukur atas rahmatNya. Waktu kupegang perutku,
" abaaaaaaa.....ng!!!! Dimana bayiku? Dimana bintangku? Pergi kemana? Aduh abaaaa.....ng!!!", aku menjerit seketika mendapati perutku yang kosong, bayiku hilang. Raib begitu saja, tanpa menyisakan gejala dan tanda - tanda. Ya Allah, ujian apalagi ini ?
Suamiku pun gelagapan layaknya diserang tentara iblis. Berulangkali lafadz istighfar terus meluncur dari mulutnya. Sepertinya, iblis benar - benar datang tadi malam. Menyelinap dan mencuri kebahagiaanku.
"Ya Allah, dosa besar apa yang telah kami perbuat?", ia tak sedikitpun melepas pegangan tangannya diperutku. Tangis kamipun pecah dikeheningan shubuh. Disaat para iblis itu lari terbirit - birit dihantam fajar.
Secepat kilat kabar hilangnya bayi dalam kandunganku menyebar ke seantero bumi nusantara. Menjadi trending topic di jagat maya. Teman - temanku mengatakan, itu karena ilmu hitam. Ada yang menginginkan anak, namun tak mampu, dan akhirnya mengambil jalan haram itu. Manusia biasa tak akan percaya, bahwa ini nyata. Bayiku hilang, entah melewati pintu mana di dalam rahimku. Aku sendiri tak percaya. Ibuku sibuk mengunjungi para kiyai, menanyakan perihal hilangnya bayiku, sampai meminta nasehat bagaimana agar bayiku bisa kembali. Sulit diterima memang. Tapi ini kenyataan.
***
"Aku tidak meminta nasibku menurun pada anak - anakku. Meskipun bukan anak kandung, ibuk selalu menginginkan yang terbaik buatmu, nduk. Jangan berputus asa, kau masih punya kesempatan lagi. Tidak seperti ibumu ini, pengen punya anak harus adopsi".
Ya, aku bukan anak kandung ibuku. Begitu juga adikku, Raka. Dia dipungut dari seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, dan akhirnya stress kemudian meninggal. Tentu saja, tak setegar waktu kehilangan pertama, ibuku tak kuasa menahan tangisnya didepanku.
" hey...sudah, sudah. Ini kehendak Allah. Kita masih diuji. Kita harus bersabar supaya lulus ujian", bapakku angkat bicara tak kuasa melihat dua bidadarinya berpeluh air mata. Suamiku entah kemana. Adikku, Raka juga termenung disampingku sambil sesekali membujukku agar berhenti menangis.
***
Lima tahun kemudian. Aku tidak ingin kesempatan yang ketiga ini gagal seperti sebelumnya. Setiap minggu aku rajin kontrol, USG pula. Memastikan bahwa bayiku baik - baik saja. Tes tekanan darah, tes urin, tes hemoglobin, semua aku jalani. Berharap bayiku lahir dengan selamat. Setiap hari, setiap malam, semua doa kebaikan kami panjatkan. Mengharap ridhoNya atas semua yang kami lakukan. Sedikit uang belanja yang lebih, selalu kusedekahkan. Semoga menjadi barokah dan khusnul khotimah bagi kami.
Sembilan bulan sepuluh hari, genap sudah aku mengandungnya. Kini tibalah saat paling mendebarkan, antara cemas dan bahagia. Kata dokter, aku tak bisa melahirkan secara normal, bayiku terlilit tali pusar dilehernya. Tak apa, yang penting bayiku bisa lahir dengan selamat.
Segenap keluargaku, bapak, ibuk, adik, mertua, dan yang pasti suamiku tercinta berkumpul sambil berdoa diluar, melepaskan tanganku dan berpesan agar aku tetap tenang. Memasuki ruangan berbola lampu besar ini, aku seperti hendak mati. Para dokter itu terlihat tenang, apa yang mereka pikirkan saat hendak mencincang seorang perempuan. Setiap kali aku begidik bertemu lagi dengan pisau dan gunting yang tajam itu. Beberapa saat aku merasa hilang, cairan bius merasuki pembuluh darahku. Tidur atau mati.
" bagaimana dok?", suamiku paling cepat bertanya, dokter pertama keluar dari ruang operasi.
" alhamdulillah, bayinya laki - laki. Sekarang masih di inkubator. Selamat ya pak Dasri".
" alhamdulillaaaaaaaah".
Beberapa jam kemudian, aku sudah siuman. Mendapati semua anggota keluargaku tersenyum bahagia, aku pun begitu.
" selamat, puteriku. Bayimu laki - laki. Ganteng sekali", ibuku terlihat begitu senang. Diciumnya kening puterinya ini. Aku tak bisa berkata apa - apa. Melihat suamiku yang begitu cerah mukanya, surga tersendiri bagiku.
" bagaimana keadaan anak kita, abang?", tanyaku lembut.
Sambil mengecup keningku, ia berkata lirih padaku.
"Terima kasih, cinta. Anak kita baik - baik saja. Masih di inkubator, sebentar lagi juga dibawa kesini".
Tak berapa lama, muncul seorang suster memanggil suamiku. Mungkin disuruh mengambil buah hatiku.
" pak Dasri, putera anda mengalami gagal jantung. Kami belum bisa menjelaskan kondisinya. Sebaiknya anda kesana, agar dokter bisa mendapatkan pertimbangan untuk langkah selanjutnya".
BLAG. Ibuku pingsan. Adikku berusaha menghiburku. Aku sendiri, tak berani membuka mataku. Tak berani menghadapi kenyataan. Lagi - lagi bintang itu tak kuasa bersinar dibawah redup matahari. Kehabisan energi.
Tak bisa kuceritakan bagaimana keadaanku, suamiku, ibuku, bapakku, adikku, bahkan rumahku sendiri, setelah kepergian bayiku untuk ketiga kali, dengan skenario berbeda disetiap latarnya. Semua mengalir sesuai kondisi. Aku masih bersimpuh dengan luka - luka yang menyayat batin dan perutku. Menanti drama selanjutnya oleh Sang Pembuat Skenario hidupku.
Benar. Ia terlampau adil. Allah, Tuhanku terlampau mengasihiku dengan mengembalikan yang menjadi hak ku. Seorang perempuan tiba - tiba datang kerumahku. Memberikan sebuah tawaran yang tak bisa kutolak sama sekali. Ia memberikannya sukarela tanpa mau menerima upah sedikitpun. Aku pun tertegun. Seorang bayi laki - laki, masih lengkap dengan tali pusarnya. Diserah terimakan oleh seorang perempuan yang ditinggal suaminya, kepangkuanku. Menjadi Bintang Dasri.

Nama lengkap : Umi Maghfirotin
Alamat : Jl. Palembang - Jambi, D2 dusun 4, RT/RW : 021/004
Kel. Bukit, Kec. Betung,  kode pos 30758 Kab. Banyuasin
Sumatera Selatan
Cp: 085279038955
Email : umisalmalintang@gmail.com

3 Oct 2016

Salam Rindu Guru

Kabut menyelimut gunung
Membias diantara cengkeh ranum
Dingin menusuk tulang dan kalbu
Membeku keras laksana batu

Batu runtuh memayung
Lintangpun gigal menghantam
Kicau burung pikatan
Menggema di telaga mili

Aren tak lagi meneteskan gula
Penyadapnya pulang meninggalkannya
Racun semerbak aromanya
Bunga-bunga tinggal layunya

Setetes keringat pengabdi
Mebanjiri sanubari
Menggulung ulu hati
Menenggelamkan nurani

Guru...

Gurui aku
Melangkah mendekatmu
Bersimpuh di pangkuanmu
Berselimut kehangatan kasihmu

Kan ku tumpahkan tangis
Untuk membasuh kakimu

Guru...

Rinduku menyalami hatimu

Malam satu suro

30 Sept 2016

Sejarah G30S/2016


Kisah berawal adanya lomba mewarnai bagi anak lima tahun kebawah, Salma ikut didaftarkan ibuk. Hobinya memang menggambar, mewarnai, boleh dikata kertas dan pensil adalah bagian dari hidup Salma.

24 Sept 2016

Dilema

Menjadi seorang perempuan terkadang membuatku serba salah, bahkan aku pernah berputus asa. Ditambah lagi, tanggung jawab sebagai anak sulung dari kedua saudaraku yang sama - sama perempuan, semakin terasa berat kupikul dipundakku. Berat karena aku belum mampu memenuhinya. Memenuhi harapan orang tuaku. Mereka berharap aku sebagai yang tertua harus bisa membantu adik - adikku.

Waktu itu aku sangat yakin, dan sangat optimis bahwa aku bisa. Aku bisa mewujudkan impian orang tuaku, terutama ayahku. Dia begitu bangga melihatku berhasil lolos seleksi mahasiswa baru dan masuk di salah satu universitas unggulan bertaraf internasional, yaitu universitas Al - Azhar, Cairo, Mesir. Waktu itu dibenakku, aku bisa menjadi orang hebat, menjadi pejabat, pegawai negeri seperti ayahku, atau paling tidak menjadi seorang guru.

Ayahku, selalu membekaliku dengan nasehat - nasehat yang terkadang aku tak mengerti.
"Niate di toto, Um", bunyi pesan ayahku dengan logat Jawa nya yang kental. Yang artinya aku harus menata niatku, serta meluruskannya. Menghindari segala hal yang merusak tatanan niat itu sendiri.

Pesan itu berkali - kali diucapkannya padaku, dan terakhir kali di bandara Soekarno Hatta, sewaktu melepas keberangkatanku ke negeri Fir'aun. Tentu saja, pesan itu terdengar biasa saja ditelingaku. Karena bagiku, jauh sebelum mengikuti proses ujian, aku sudah menakar dan mematangkan niat dihatiku. Sebelum akhirnya, ternyata Sang Maha Kuasa menghendaki skenario baru yang sama sekali tak kuduga.

Ada yang tertinggal di bandara. Rupanya, aku melupakan sesuatu. Aku lupa bagaimana perasaan ayahku ketika menyampaikan pesan itu. Aku lupa bagaimana raut mukanya ketika melepaskan jabatan tanganku. Aku hanya ingat ibuku, yang tak bisa menahan luapan air mata, sambil menatapku dari luar ruangan only passanger, khusus penumpang.

Ayah memang berbeda dengan seorang ibu dalam memberikan kasih sayangnya. Meskipun tinggal beberapa menit kebersamaan kami, tak setitik pun air mata keluar dari pelupuk matanya. Malah, ia terlihat tegar, dan bersahaja. Sepertinya, ia ingin aku menangkap sinyal - sinyal semangat berjuang darinya. Tanpa harus diungkapkan dengan kata. Aku hanya melihatnya menatapku dengan kedua tangan yang menempel di dinding kaca. Guratan senyum dan sesekali anggukannya menyuruhku agar terus melangkah dan jangan menoleh kebelakang.

Sementara ibuku hanya melambaikan tangannya, seraya meneriakkan kata 'hati - hati' yang sama sekali tak terdengar olehku. Hanya gerak mulutnya seperti berkata demikian.
***
Sampai dua tahun aku di Cairo, ayahku masih saja mengingatkan pesan itu. Meski bosan mendengarnya, aku tetap mengiyakan. Sampai aku mengutarakan isi hatiku padanya, bahwa aku ingin menikah, aku mendengar suaranya yang lemah, layaknya orang yang dilanda penuh keputus asaan. Padahal, aku hanya ingin menikah, bukan ingin berhenti belajar. Namun tetap saja ayahku sulit memutuskan.
" kenapa tak kau tahan dulu sampai lulus s1, itu kan niatmu pertama kali".
Ternyata pesan 'noto niat ' itu begitu dalam. Nada getir dan sedikit khawatir ketika ia mengucapkannya, tak sempat kuhiraukan sewaktu di bandara. Ayahku pasti kecewa denganku. Mungkin, ia merasa harapannya telah kandas.

Sikapku dan calon suamiku yang masih tetap bersikukuh untuk menikah, akhirnya direstui kedua orang tua kami. Entah dengan berat hati atau tidak. Namun, di dalam diam aku mendengar bisikan hatinya yang lembut, mungkin inilah yang disebut telepati.
" puteriku, demi keselamatanmu, aku korbankan impianku".
"Oh, ayah, kau memang selalu berkorban untukku. Kelembutanmu selalu membuatku haru. Kenapa tak marah saja padaku, ayah?", batinku merajuk sendiri.
Pernikahan yang teramat singkat dan padat, tanpa suka cita keramaian atau semacam pesta, telah menyatukan cinta kami. Hanya

Selama hampir sembilan tahun, keluarga kecilku tinggal, dan bahagia di Kairo. Satu orang putera, dan seorang putri telah menghiasi rumah kami. Yang satunya lagi masih dalam kandungan. Yang akhirnya kubawa pulang ke negeri ini dalam usia enam bulan dalam kandungan. Aku masih ingat betapa orang tuaku sekaligus mertuaku terlihat resah menyaksikanku, mengandung enam bulan, anak pertama baru dua tahun, anak kedua baru satu tahun.

Baru setelah kelahiran anakku yang ketiga, mereka sedikit lega. Beberapa anjuran dan masukan mulai ditujukan padaku. Ibuku menyuruhku agar ikut mengabdi di sekolah, ayahku pun begitu. Katanya agar aku segera mengamalkan ilmuku. Disamping itu, ayahku pernah mengungkapkan bahwa menjadi seorang guru itu banyak manfaat, selain mengamalkan ilmu, kehormatan juga didapat, uang juga mengalir meski tak sederas aliran air terjun. Kalau ujung - ujungnya uang, kenapa tak menjadi tkw saja dulu?, tanyaku dalam diam.
"Lalu bagaimana anak- anakku?", pernah kutanyakan hal itu pada mereka.
" biarlah kakek neneknya yang mengasuh, lagi pula pekerjaan seorang guru tidak sepanjang hari".
Aku tak pernah memikirkan hal itu. Mertuaku memang tidak keberatan mengasuh cucunya, malah terlihat sangat senang dan bahagia. Meski sudah sangat tua, mudah lelah, dan mudah sakit - sakitan, mereka tak mau mengakuinya. Tapi realita tak bisa berbohong.
Aku tak bisa menuruti permintaan orang tuaku. Mengasuh tiga orang balita bukanlah pekerjaan mudah, apalagi untuk orang yang sudah tua. Aku tetap akan mengasuh anakku, karena saat inilah aku tidak boleh melalaikan tanggung jawabku sebagai seorang ibu.
"Ayahmu sudah banting tulang mendidik dan menyekolahkanmu sampai setinggi itu, agar kau bisa sukses. Menjadi orang hebat, orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Rasanya sia - sia ayahmu bekerja. Sia - sia ayahmu berharap memiliki anak yang bisa melanjutkan perjuangannya".
Aku ingin menangis sekeras - kerasnya ketika ibuku melayangkan sms itu di ponsel kecilku. Apakah aku sudah menjadi anak durhaka? Apakah aku sudah menyakiti hati orang tuaku? Aku tak bisa menjawabnya. Sekali lagi, menjadi perempuan terkadang membuatku dilema.

Rupanya, Sang Maha Kuasa telah menentukan takdirnya. Melihat keadaanku yang tak berdaya, menjadi anak salah, menjadi ibu juga salah. Akhirnya suamiku membawaku merantau ke pulau seberang. Dan sudah bisa ditebak bagaimana reaksi kedua orang tuaku.
"Dari lulus sd sampai perguruan tinggi, Umi selalu di pesantren, kuliah di Mesir, kemudian menikah dengan orang jauh dan sekarang? Akan dijauhkan lagi?".

Lagi - lagi ayahku menanyakan perihal niat kepadaku atas kepergianku.
" untuk mencari pengalaman. Di Jawa kami masih belum menemukan jalan rezeki kami. Siapa tahu Allah membukakannya disana".
" kenapa bukan suamimu saja yang pergi, kamu tetap disini?", tanya ayahku memberi pilihan.
"Maafkan aku, ayahku. Aku tak bisa jauh dari suamiku".
Maafkan anakmu, sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa jauh dari suami sama halnya jauh dari ladang amalku. Ayah tentu mengerti, setelah menjadi seorang istri, aku tak boleh lepas dari tanggung jawabku. Di pesantren aku selalu diajarkan berbagai hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya. Setelah mengetahuinya, apakah aku lantas mengacuhkan tanggung jawabku?. Semoga ayahku mengerti.

Suamiku lah yang berkali - kali menjelaskan pada ayahku, sampai akhirnya mereka pun harus merelakan kepergianku untuk kesekian kalinya. Aku pun selalu berdoa agar kita dipertemukan kembali, suatu saat nanti.
***
Diperantauan, kami tidak serta merta terbebas dari tuntutan. Setiap kali menelpon, mereka selalu menanyakan pekerjaan. Lagi -  lagi mereka harus kecewa karena aku hanya menjadi seorang ibu untuk anak - anakku. Suamiku berjualan kerupuk yang di setorkan ke warung - warung kecil di sekitar kediaman kami. Dan dua kali seminggu mengajar di musholla. Kami sama - sama belajar di universitas Al - Azhar, namun suamiku merelakan ijasahnya demi aku. Ia bekerja mencukupi kebutuhan keluarga, sampai akhirnya kami pulang ke Indonesia. Karena itulah, sampai kapan pun suamiku ingin membuktikan bahwa tanpa ijasah kita mampu mengamalkan ilmu, mengajar yang membutuhkan, menjadi insan yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama.

"Kau sibuk apa, Um jauh - jauh kesana?", tanya ibuku dalam telponnya.
Jawabanku masih sama, "sibuk ngurus anak - anak, buk".
"Cobalah, cari lowongan mengajar, di TK atau SD kan bisa, mengajar sambil membawa anak nggak apa - apa".
"Iya buk, nanti kalau ada".
Selalu sederhana, jawaban - jawaban yang aku ungkapkan pada orang yang ku kasihi itu. Ia teramat sayang, dan terlalu mencintaiku. Ia senantiasa ingin melihat puterinya segera hidup mapan, dan memiliki pekerjaan tetap. Namun sayangnya, aku masih sama. Aku masih harus menjadi madrasah utama bagi anak - anakku. Maafkan aku, ibu. Aku hanya ingin kau tahu, ini hanya masalah rezeki. Allah belum berkenan membukakan kran rezekiku. Mungkin, nanti setelah aku lulus ujian. Ujian sebagai seorang hamba yang masih miskin, yaitu sabar.
Aku bukan tak ingin menjadi guru. Menjadi guru itu tugas mulia, oleh karenanya, suatu saat nanti, kalau aku menjadi guru, aku tak ingin mengotori niatku dengan keinginan nafsuku.
***
Disaat gundah, terkadang sebuah pertanyaan konyol begitu saja meluncur dari mulutku, "kalau laki - laki bisa mengamalkan ilmunya, belajar sekaligus mengajar pada yang lain. Berdakwah, mengajak pada kebaikan. Kalau perempuan? Memasak, mencuci, ngurus anak".
"Anak - anakmu lah ladang amalmu, buk. Anak - anakmu lah ladang dakwahmu. Salah satu tugas terpenting perempuan disamping taat pada suami adalah menciptakan generasi unggul, barakhlak mulia, taat pada agama, dan berguna bagi nusa dan bangsa", kata suamiku yang memang selalu bijak untuk menjawab semua pertanyaanku.
"Memang benar, regenerasi sudah menjadi tugas fitrah seorang perempuan. Tapi tanggung jawabku pada orang tuaku, balas budiku pada mereka? Apa?".
"Kita memang tidak akan mampu membalas jasa - jasa mereka selain dengan mendoakan mereka. Jadi kita harus berjuang agar amal - amal mereka tidak putus nantinya".
Seringkali air mataku tak dapat ku tahan, ketika menemani anak - anakku sedang belajar. Dalam hatiku, aku berpesan, " belajarlah nak, belajarlah sungguh - sungguh. Karena belajar itu kewajiban. Karena belajar akan menjauhkanmu dari kebodohan, kekolotan, bahkan kemusyrikan. Belajarlah bukan untuk menjadi apa atau siapa, belajarlah bukan untuk mencari uang atau kehormatan. Allah yang akan menjadikanmu terhormat, Allah yang akan mengkalkulasikan keuanganmu jika kau tawakkal padanya".

Setelah itu, aku sadar sesadar - sadarnya, bahwa menjadi perempuan bukan hal yang untuk disesalkan. Perempuan wajib belajar, perempuan harus menjadi hebat, untuk melahirkan generasi - generasi hebat.
Ayahku, ibuku, kalian tidak sia - sia mendidikku. Aku teramat mencintai kalian. Urusan harta, kehormatan, dan duniawi lainnya biarlah Allah yang mengatur segalanya.

19 Sept 2016

Mengajar Mengejar Cahaya

Tiga orang memasuki warung kopi Lek Man. Ustad Salim Siagian yang berpeci ulos khas batak, segera melepas sandal dan langsung naik ke lincak lebar dari bambu, melipat kakinya, bersila.
Wajahnya sedikit kusam. Satam telihat lebih ganteng dari yang seharusnya, berhias baju koko, bercelana jeans, berselonjor kaki dikursi panjang dibelakang meja yang juga panjang.
Seorang lagi berbaju songket berperawakan tegap dengan rambut dipangkas rapi, umur tiga puluhan, Pak Sekdes. Seperti kebiasaannya, beliau langsung mendekati meja penyajian tanpa merasa kikuk, mengambil cangkir mempersiapkan sendiri gula dan kopi sesuai takaran seleranya. Kemudian duduk di lincak disamping Ustad Salim.
Satu kebiasaan unik, adalah cara Lek Man menyeduh kopi. Racikan gula kopi diseduh setengah cangkir, diaduk menggunakan ranting kayu kaukah misri, gerakannya memutar teratur sebanyak tujuh kali berlawanan arah jarum jam, menyerupai aliran thawaf, kemudian dituangi air lagi sampai penuh dan sedikit tumpah.
Hampir tiga tahun, sebuah warung beratapkan daun nipah, merajut sejarah demi sejarah. Malam ini selepas isyak, mereka bertiga datang bersamaan, mengingatkan kembali pada awal warung berdiri. Saat tiga orang itu menjadi pelanggan pertama Lek Man.
***
Waktu itu Satamlah yang pertama kali menaruh kecurigaan, merasa ada kejanggalan. Pandangannya tajam, bukan cuma mata raga, tapi akal dan pikiran, "Apa ngaduk seperti itu berpengaruh pada rasa Lek?".
Lek Man kaget bercampur kagum, mendapati seorang pemuda dengan tingkat pengamatan diatas rata-rata. Lek Man pun berusaha menjawab dengan pertanyaan. "Yang kamu maksud rasa di lidah atau rasa yang lain?".
Satam seperti kapas terkena percikan api, tersulut rasa penasaran dan keningin-tahuan, "Lho... memangnya ada rasa yang lain Lek?".
"Oh... ya jelas ada, lidah itu indra pengecap, bukan indra perasa, kalo indra perasa itu disebut perasaan, mengenai tempatnya dimana, kamu bisa otak-atik sendiri dirumah nanti". Lek Man memang hobi memberi bahan tafakkur kepada siapapun, semacam PR.
Ustad Salim tahu arah pembicaraan, "Tapi apa iya... Ngaduk seperti itu bisa dapat pahala?". Mungkin sebagai guru madrasah, materi dosa pahala terlalu merasuk dalam darahnya.
"Ini bukan urusan dosa pahala Tad, dosa pahala mutlak haknya Allah. Tapi saya meyakini setiap gerakan dan hitungan itu ada sirr, ada rahasianya".
Satam dan Pak Sekdes belum paham, maka Lek Man pun menyambung keterangannya, "Orang berangkat haji itu membawa segala amalnya, yang hitam maupun yang putih, setelah diisi niat, tekad, dan kemantapan, kemudian meraka pergi dan melaksanakan ritual haji. Salah satu ritual yang paling berkesan adalah thawaf tujuh kali, dimana mereka diaduk bersama lautan manusia, insyaallah ketika semua itu dilakukan dengan penghayatan, pemasrahan, sambil mencari ridho Gusti Allah, maka mereka akan dipenuhi dengan nur, cahaya kebaikan, bahkan terkadang cahaya itu mampu memancar, meluber, tumpah ke sekelilingnya".
"Berarti ngaduk kopi itu ada filosofi ibadahnya", Satam merasa bisa menyimpulkan.
"Gayamu Tam! Tukang sadap karet kok pakai istilah 'Filosofi', nggak pantes, tapi kamu merdeka untuk mengucapkan dan menyimpulkan itu", mereka terkekeh.
"Lha kamu sudah haji berapa kali Lek?". Pak Sekdes ganti bertanya.
"belum pernah".
"Apa benar kamu belum haji Lek?, bukankah dulu kamu sekolah di Arab?". Pak Sekdes tidak percaya.
"Arab itu luas, arab itu banyak, aku di Mesir, sebelah barat Saudi". Lek Man berusaha menjelaskan secara sederhana. Lek Man memang pernah belajar di Al-Azhar Cairo, hampir delapan tahun beliau di negeri Musa.
"Berarti kalau shalat menghadap ke timur ya Lek?". Sebetulnya Satam itu pemuda yang cerdas, semangat ingin tahu juga tinggi. Seandainya pemuda ini sejak kecil mendapat fasilitas dan kesempatan yang normal, mungkin dia akan menjadi pemuda yang unggul di kampungnya, bahkan bisa jadi Indonesia. Seperti yang dialami sebagian anak bangsa, Satam hanya lulusan SD, orang tuanya penyadap karet sambil sesekali menggembalakan sapi milik orang lain.
"Lebih tepatnya menghadap ke timur serong ke selatan, karena aku dulu di wilayah Cairo".
Satam dan Ustad Salim mengangguk mantap, padahal hanya basa-basi. Karena Lek Man tahu, kemungkinan besar mereka tidak mengenal daerah yang disebutkan Lek Man.
***
Distrik Abbasiyah Provinsi Cairo, termasuk pusat Kristen Koptik, sebuah sekte Kristen yang dipimpin oleh seorang Baba. Disanalah Lek Man beserta keluarga kecilnya, belajar membaur, menyatu dalam perbedaan, memaknai perbedaan sebagai harmoni dan keagungan karya Tuhan.
Tasamuh, toleransi yang menjadi pondasi sikap dalam menghadapi perbedaan, Lek Man serap dari para kiyai sewaktu masih mondok, dan dilanjutkan pematangan dari para Syekh semasa nyantri di Mesir.
Sebuah momen sejarah menjelang kepulangan Lek Man ke tanah air, adalah ketikaSyekh Ahmad Thoyib, pemimpin tertinggi Al-Azhar melayat seorang kawan yang meninggalkan dunia fana. Seorang kawan yang bergelar Baba Shenouda III dari Alexandria Patriarkh Takhta Suci pemimpin Gereja Ortodoks Koptik.
Ditengah semakin merebaknya egosentris, para penghujat yang dangkal akal, para pengkritik yang terinfeksi penyakit saraf gelut. Sang guru tetap mantap dengan langkah dan sikap, memberi contoh kepada siapapun tentang arti penghormatan, toleransi, kasih sayang.
Lek Man menyaksikan semua itu, seakan terpecut semangat, Lek Man bertekad, dimanapun di negeri katulistiwa, kepada siapapun dakwah harus terselenggara. Racun egoisme virus fanatisme pelan tapi pasti, telah sedang dan akan menggerogoti kehidupan berbangsa, juga kehidupan bermanusia, karena kita manusia.
Segala jenis racun dan virus bisa masuk akibat kegagalan sistem ketahanan akal, asupan gizi informasi serta vitamin dakwah yang tercampur bakteri fitnah, disajikan diatas piring-piring kotor. Malangnya, banyak yang tidak sadar dan justru melahap habis suguhan itu.
***
Sekenario sang Maha Sutradara. Melalui lika-liku cerita sehingga Lek Man harus hijrah, ditempatkan pada sebuah altar daerah perantauan, diperankan sebagai penjual kopi.
Warung kopi itu menjadi mimbar istimewa, dimana setiap manusia yang hadir memang sangat plural, dari berbagai macam suku, adat budaya, dialek bahasa, sikap karakter, keyakinan agama, setrata pendidikan, berbaur dalam bangku panjang dalam kelas yang disebut warung.
Alhamdulillah, warung kopi bukanlah tempat sakral. Siapapun yang memasukinya berbaur, berembug, diskusi, ngangsu-kaweruh, dan semua orang merasa merdeka untuk mendengar dan didengar.
***
Mendung yang sedari sore menggelayut, mulai digantikan rintik gerimis.
Lek Man sengaja masih diam, seakan ingin memberi kesempatan kepada tiga pelanggan istimewanya menikmati lantunan instrumen gerimis yang memantulkan suara dedaunan, terasa syahdu menyapa jiwa.
Atau mungkin mereka tidak mendengar suara itu. Karena memang sejak mereka masuk fikiran mereka entah mengembara kemana. Keluar cakrawala, mengamati goresan aurora atau justru masuk di kedalaman jiwa meneliti sesuatu yang mikro, kelenjar, saraf, sel. Atau lebih dalam lagi, ke palung sanubari.
"Kok bisa bareng-bareng? Janjian apa darimana?" memecah keheningan, Lek Man menyodorkan kopi masing-masing.
"Ketemu di acara pak Romli, langsung bareng ke sini". Pak Sekdes menjawab mewakili dua kawannya.
Mereka terdiam kembali, gerimis pun menjadi hujan.
Setelah hampir tiga tahun sering ngopi di warung Lek Man. Mereka bertiga dan banyak kawan lainnya, mulai bisa memperdayakan akalnya, memerdekakan fikirnya, menjernihkan pandangannya dari jajahan nafsu, fitnah, provokasi, penggiringan opini dan seluruh penyakit peradaban.
Selama itu pula dengan telaten serta kesabaran, Lek Man selalu menekankan pentingnya mendaya-gunakan akal, fikiran, pandangan. Seperti yang sering di katakan Lek Man "Supaya tidak di tegur oleh Allah afala ta'qilun, afala tatafakkarun, afala tubshirun, afala tatadabbarun".
Kini Lek Man sering mem-posisi-kan diri menjadi pendengar, dan mereka diberi panggung seluas-luasnya, memyampaikan apa yang di tafakkuri, yang di tadabburi.
Pak Sekdes membuka orasinya yang panjang, hujan pun seperti ikut mendengarkan. "Saya mulai memahami Lek, dulu kamu pernah menyampaikan bahwa kita harus mengenali diri kita dulu untuk bisa mengenali Rob".
"Tuhan maksudnya? Allah?" Lek Man bertanya untuk meyakinkan.
"Ya. Man 'arofa nafsahu faqod 'arofa robbahu, sesiapa mengenali dirinya sendiri maka sungguh dia mengenali tuhannya".
"Prakteknya seperti apa?".
"Kenalilah diri sebagai apa, ketika kita miskin artinya kita diperintah sabar, ketika kaya dermawan, jadi pemimpin dituntut bijak, jadi hakim adil, pedagang tidak mempermainkan timbangan, ketika pandai harus mengajar ketika bodoh harus mau belajar dan seterusnya".
Lek Man menyimak dengan seksama, "Sesuai proporsinya".
"Ya. Bisa dibilang begitu, jangan sampai miskin mengeluh, kaya pelit, pemimpin dzolim, hakim berat sebelah, pedagang curang, pandai sombong, bodoh keminter".
Dengan raut wajah serius Lek Man menyela. "Sebentar, tahan dulu".
"Ada apa Lek? Apa ada yang salah?".
"Keminter itu kan istilah saya, kenapa anda pakai?". Mereka semua terpingkal-pingkal karena mengira ada hal serius. "Oke. Oke silahkan diteruskan".
Suasana kembali serius, hujan pun masih mengguyur.
"Pendidikan karakter harus kita tanamkan sejak dini, baik di sekolah, dirumah, dan juga lingkungan. Sejauh yang saya amati dan saya tadabburi di lingkungan kita sekarang, adalah suburnya individualitas ke-aku-an".
"Maksudnya pak?". Satam penasaran.
"Contoh kongkritnya begini. Kalau ada orang mainan sabu, hobi judi, kebanyakan justru mengambil sikap, yang penting bukan keluargaku, yang penting bukan anakku, yang penting bukan aku. Ini kan bahaya".
"Bahayanya dimana Pak Sekdes?" Sergah Lek Man.
"Jelas bahaya, bisa jadi nantinya anak itu akan jadi pejabat, gubernur, bupati, camat atau sekelas Kades, atau mungkin jadi menantu kita. Kalau sudah tobat Alhamdulillah, lha kalau belum atau kumat, kita juga kena imbasnya".
"Em ya ya". Lek Man mengalihkan pandangan menghadap Ustad Salim. "Menurut penerawangan anda yang setiap hari mendidik anak-anak, kira-kira apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua sekaligus masyarakat".
***
Sambil menata posisi duduknya Ustad Salim memulai petuahnya. "Sederhana".
Sepontan Satam langsung menyahut. "Menyepe...".
"Dengarkan dulu". Ustad Salim memotong komentar Satam yang belum rampung. "Aku belum selesai ngomong. Sederhana itu kami mengharapkan kepada para orangtua agar kembali menjadi anak-anak".
Ganti Pak Sekdes tertawa terkekeh-kekeh, tapi Ustad Salim tidak menghiraukan dan terus melanjutkan. "Maksudnya, jadilah kawan bagi anak-anaknya, jika waktu shalat diajak shalat, dicontohkan, di kawani. Jika waktunya belajar, ya ditemani, di bimbing".
Ustad Salim berhenti sejenak dan mengamati para pendengarnya. Alhamdulillah semua terlihat antusias. Maka beliau pun melanjutkan "Mulut kami sampai berbusa-busa nyuruh anak saling tenggang rasa, saling menyayangi, kalau orangtuanya hobinya gelut bertengkar, ya nggak ngaruh".
"Setuju". Jawab Lek Man. "Intinya saya menyimpulkan, masih ada hubungannya dengan kenali diri kita, jika jadi orang tua, maka tanggung jawablah terhadap anak-anaknya".
Semua serempak menjawab "Betul".
Kemudian Lek Man atau Nur Rohman Jaya Negeri --entah filosofi apa yang dipakai ayah beliau sehingga menggabungkan nama arab dan Indonesia. Mungkin ayahnya mengharapakan beliau jadi seperti pancaran cahaya Dzat Pengasih Penyayang yang mampu menjadikan jayanya sebuah negeri-- mengarahkan pandangan kepada Satam.
***
Seketika itu juga suara petir meledak merambat menggema, hujan sudah mulai reda, namun rintik kecil masih terasa.
Tak seperti sebelumnya, justru Satam agak sedikit gugup, degup jantungnya berpacu bergemuruh saling sahut antara rintik dan petir perpisahan. Matanya waspada, kepalanya menoleh keluar warung, kanan kiri jauh dekat diamati dengan teliti. Semua tempat, dibawah remang lampu jalan, di antara pekatnya pepohonan, tak luput dari sorotan matanya yang tajam.
"Kenapa Tam. Apa kamu mau pulang sekarang? Kopimu nah, masih utuh, masih rintik juga". Pak Sekdes dan semua merasa ada yang aneh.
"Sudah. Ngomong saja, kami tau kau punya cerita". Ustad Salim mengeluarkan logat Bataknya.
Satam menatap Lek Man, dibalasnya tatapan itu dengan anggukan. Dengan sedikit melirihkan suaranya Satam mulai bicara. "Selama saya bicara tolong jangan ada yang menyela". Semua diam mengisyarakan sutuju.
"Selama ini kita mengenal Iblis adalah musuh. Tapi pikiran liar selalu mengusikku. Mungkinkah Baginda Iblis, hanyalah memainkan sekenario dari Allah, Beliau hanya di-peran-kan".
Hampir saja semua protes, tapi mereka bisa menahan diri. "Sejak semula Nabi Adam diperkenalkan kepada malaikat sebagai kholifah fil ard, pemimpin di bumi, kemudian Nabi Adam juga dibekali dengan pengetahuan asma kullaha. Kalau pandanganku asma disitu bukan nama benda, tapi asmaul husna. Sampai disini aku menjadi gila. Bagaimana jika Iblis nurut sujud kepada Nabi Adam, sehingga tidak perlu terjadi konspirasi buah khuldi. Sehingga Nabi Adam dan bunda Hawa sampai sekarang masih di sorga, dan janji Allah tentang kholifah fil ard belum terlaksana".
Satam mengambil nafas, mata dan telinganya masih waspada. "Karena Nabi Adam tidak membuat kesalahan, maka pemahaman Nabi Adam tentang asma kullaha menjadi tidak sempurna. Penjelasannya begini. Malaikat tidak bisa memahami At-Tawwab Al-Ghoffar, karena mereka dihindarkan dari kesalahan. Maka yang bisa memahami atau mengenal Allah lewat salah satu asma-nya itu, adalah mereka yang pernah berbuat salah, Nabi adam, dan ilmu pun menjadi sempurna".
Ustad Salim dan Pak Sekdes mengangguk memahami. Sedangkan Lek Man justru terlihat mematung, sorot matanya lurus ke depan, tapi tidak terpusat pada obyek apapun.
Dengan suara agak tertahan Satam melanjutkan bicaranya. "Sejak kecil dulu aku tahunya hanya nyadap karet, keinginan belajar perlahan padam karena keadaan. Mungkin itulah yang menjadikan pola pikirku liar. Tapi sekarang semangat itu terbit kembali laksana matahari di ufuk timur. Aku pernah mendengar anda, menyampaikan bahwa ilmu adalah cahaya, al-'ilmu nuurun. Dan cahaya bisa dikejar, hanya ketika kita pun menjadi cahaya. Aku ingin menjadi cahaya, aku ingin berbaur, menyatu, manunggal, nyawiji dengan Nur. Terimalah aku sebagai murid wahai Mursyid, wahai Syekh Nur Rohman". Satam secara sigap langsung memegang tangan Lek Nur Rohman den menciumnya dengan ta'dzim.
Pak Sekdes dan Ustad Salim kaget, syok. Sementara beliau yang dipanggil dengan Mursyid masih mematung dengan sorot mata lurus kedepan. Hujan sudah benar-benar sirna, mendung pun tak ada yang tersisa. Digantikan Nur Al-Badri, cahaya purnama.
Nur Rohman Jaya Negeri seperti melayang, kemudian ikut berbaris dalam barisan shaf jagat raya bersajadah cakrawala, memutar tasbih yang butirannya tersusun bebatuan luar angkasa. di dalam mihrab dibawah sidrotul muntaha.
Kemudian beliau bermunajat "Wahai Sang Maha Sutradara, peran apa lagi yang engkau rancang untukku, bimbinglah aku dengan cahayamu".

Ahmad Syukron Mujib
d/a: dusun Sokolangu RT/RW : 001/001
         Desa Sambirejo, Gabus, Pati
         Jawa Tengah
Email: kodokkatulistiwa@gmail.com
No. Telp: 085279038955