14 Oct 2016

Obat Rindu Kawan Lama

Klopoduwur, dimasa pasukan kumbang menyerang habis seluruh pohon kelapa di desa ini. Berusaha menghilangkan jati dirinya. Hal itu membuatku sedih. Terlebih saat jasadmu ikut - ikutan diserang bala. Sia - sia saja kupaksa kau minum obat.
"Kesembuhan tidak akan menyelamatkan dari kematian", katamu.
"Benar. Semua orang pasti mati. Aku pun begitu, meskipun aku masih muda. Tapi Allah memerintahkan kita untuk berobat, kala kita sakit".
"Aku sudah berobat", ujarmu lagi.
"Obat apa? Obat dari mantri kau buang. Obat daun kumis kucing, daun mangkokan, daun ginseng, kau muntahkan. Obat yang mana?", tanyaku kesal.
"Obat rindu, nduk. Aku rindu kawan lamaku. Ini hanya jasad, tak perlu kau risaukan. Aku yang sebenarnya, sama sekali tidak sakit".
"Minumlah obatnya pak, sekaliiii.....saja", pintaku bersimpuh kepangkuanmu, menyentuh tulang - tulang yang hanya terbungkus kulit. Lima tahun bergulat dengan penyakit, stroke,hernia, batu ginjal, darah tinggi, komplikasi. Kau masih bilang tak sakit. Setiap hari kau menghisap racun sembilan senti.
"Rokok itukah obatmu, pak?", Napasmu tersengal - sengal. Batukmu mirip mengi seekor kucing. Nyaring ditelingaku. Tubuh kurusmu pun terguncang dibuatnya.
"Bukan, rokok hanyalah teman", sambil menahan batukmu.
"Lalu, anakmu ini bukan teman?", menjagamu setiap malam, mengajakmu bercerita, mengingatkanmu agar minum obat, meski tak pernah kau turuti.
"Bukan", aku tercengang. " kau adalah anakku, yang akan meneruskan sisa - sisa hidupku nanti. Menemani emakmu setelah aku pergi".
" Jangan bicara lagi, pak. Napasmu seperti mau hilang, istirahatlah", suaramu sudah tak jelas kudengarkan. Karena mulutmu kaku. Entah makhluk mana yang telah membengkokkan tulang rahangmu. Semua kata yang keluar dari mulutmu terdengar sama. Namun aku mampu menerjemahkan.
" awka lawva", aku lapar. Ucapmu dalam bahasamu. Kau hanya mau makan mi instan. Berkali - kali aku larang, kau pilih selamanya tak makan. Itu yang aku tak mengerti. Makan nasi, tak mampu menelan, kasar, katamu. Makan bubur, kau muntahkan, hambar, kau bilang.
***
Sebelum mulutmu kaku. Makanan kesukaanmu adalah singkong, yang ditumbuk halus, dan padat menjadi gemblong, atau gethuk. Emak sangat rajin bersusah payah membuatnya untukmu. Kau juga menyukai barang - barang antik. Jam dinding besar dan panjang, terbuat dari kayu, setiap berdentang dua belas kali ditengah malam, buluku begidik dibuatnya. Lampu petromak, sepeda ontel Oemar Bakri, kau bilang. Dan geledek - lumbung padi besar - yang sekaligus kau jadikan meja diruang tamumu.
"Aku kangen sedulur - saudara - ku, Soerosentiko. Biasanya kalau bulan suro, ia pasti mengajakku ke peguron adam di Karang Pace. Bersama sedulur sikep - sesama saminis - yang lainnya".
"Ngapain aja dipeguron adam, pak?", tanyaku setengah malas.
"Belajar agama islam, dan membentuk gerakan anti Belanda ". Dahiku mengernyit.
"Dimana dia sekarang?".
"Orangnya sudah mati, berpuluh - puluh tahun yang lalu", bibirku seketika melingkar , " diasingkan di Padang, di Sawahlunto, oleh pemerintahan Belanda kala itu. Mungkin sekarang ada disana makamnya". Katamu, sebelum mulutmu kaku.
"Kok mungkin? Ya pastilah".
"Entahlah, kawan - kawanku sudah pernah ada yang melacak, namun tak ketemu dimana makamnya". Kau pun merenung diatas kursi panjangmu, tanpa menghiraukan aku yang tengah sibuk menyiapkan makan malam.
Anganmu melayang sampai entah kemana, yang tak sengaja menyeretku mengikuti alur cerita di kepalamu. Kau mungkin masih trauma, menyaksikan penyiksaan yang dilakukan oleh kaum Belanda putih dan hitam kepada segenap sedulur sikepmu. Kau tak bisa berbuat apa - apa, karena kau tak mau kehilangan sejarah dirimu sendiri. Melahirkan aku, adalah tujuanmu. Menjadikanku buku - buku sejarah yang mencatat setiap jengkal napasmu.
Atau kau sedang menyusun strategi baru, untuk melawan Belanda masa kini. Ah, pasti bukan itu yang kau pikirkan.
Ah, Soerosentiko. Aku yakin kau sedang memikirkannya.
Kau rela membiarkan jasadmu lumpuh, membuang seluruh butir obat yang diberikan mantri.
"Soerosentiko, dulu bapak masih sering main ke Ploso, meskipun ia sudah tiada. Menyaksikan kepergiannya, wajah lemasnya, rantai besi yang mengikatnya, kala serdadu Belanda menyeretnya dan membuangnya, seharusnya bapak bersamanya".
"Menyesal karena tak bisa menolong? Atau menyesal masih hidup?".
"Bukan. Aku sengaja dihidupkan agar aku bisa menorehkan tinta - tinta sejarah kami sepanjang perjalananku. Kaulah yang akan menjadi buku tulisku".
***
Benar. Tinta emas yang kau goreskan dilembaranku, abadi. Sampai penolakanmu meminum obat, pasti karena dia. Kau sekarang tengah merindukannya. Meski obatnya bukan made in Belanda, kau masih membuangnya.
"Kenapa kau berikan barang itu lagi?".
"Apa bapak merindukan kawan lama? Kalau dia masih hidup, pasti dia menyuruhmu minum obat".
"Tapi dia sudah mati. Kau hanya seorang anak yang peduli bapakmu, kau tak mengerti perjuangan seorang kawan, demi menjaga tanah leluhur kita. Kau tak mengerti hutan - hutan jati disepanjang jalan Randublatung itu dulu milik siapa. Kau tak mengerti, atau belum mengerti...".
"Besok mantri mau kesini, pak. Memeriksa kondisi bapak".
"Siapa lagi itu, aku tak butuh dia. Aku hanya butuh istirahat".
"Istirahatlah kalau begitu", namun tetap saja mantri kuminta datang memeriksamu. Kondisimu semakin lemah. Untuk berjalan kau sudah tak mampu. Buang air kecil dan besar ditempat tidurmu. Untuk bangun saja harus kubantu menegakkan punggungmu disandaran kursi. Matamu sudah kabur, adikmu sendiri kau bilang orang lain. Antara emak dan aku hanya beda suara. Aku hanya melakukan yang semestinya, sebagai anakmu.
"Kita cek dulu pak tensinya", mantri mulai memeriksamu. Kau pun terkulai lemas diatas kursi kayu. Seperti pasrah ketika kelopak matamu di paksa membuka, lidahmu dipaksa menjulur meski susah, mulutmu kaku. Ketika dokter hendak memasang selang yang menjadi jalur aliran air senimu, kau memberontak.
"Jangan! Jangan kau lakukan itu. Aku bukan tahananmu, kau tak boleh seenaknya mempermainkan jasadku, pergi kau dari sini". Kau mengamuk sekenamu. Tak ada yang bisa memahami bahasamu. Hanya aku sendiri, menatapmu yang melinangkan air mata. Aku pun terduduk lesu. Mantri harus pergi, ia meninggalkan resep yang harus kau minum setiap hari.
Kau kembali mengerang seperti kesakitan. Kuraih tanganmu yang gemetar, mencairkan bulir keringat yang membatu dihati dan ginjalmu. Soerosentiko, seandainya dia menyaksikanmu saat ini, pasti kau sembuh seketika.
"Soerosentiko sering main kesini nggak, pak?", kupancing pita suaramu yang tenggelam didasar laut hatimu. Umpanku tersangkut.
"Memang disinilah, di Klopoduwur ini, kami memulai pergerakan itu. Pergerakan orang - orang samin untuk melawan kekejaman Belanda putih dan hitam". Belanda hitam, kau menyebut orang pribumi yang rela menyiksa saudara sebangsa sendiri. Menjadi antek penjajah negeri ini. Kau selalu semangat menceritakan tentang dia. Akupun akan setia merekam setiap alur cerita yang kau susun menjadi sebuah film drama yang kuputar di bioskopku sendiri.
"Kami tidak mau membayar pajak, karena ini tanah kami. Warisan dari keturunan pandawa kepada Sunan Kalijaga. Kami membelot dari pemerintah Belanda. Orang - orang seperti Soerosentiko, memelopori perlawanan dengan tanpa kekerasan. Tapi dengan cara pekok, kepada Belanda. Sampai sekarang wong samin masih dibilang pekok, namun kami tetap bangga. Bukan seperti orang - orang yang bilang anti penjajahan, namun membiarkan dirinya terjajah tanpa mereka sadari", ceritamu mengalir bersama hembusan angin sepoi - sepoi yang menyibak - nyibak kain korden kamarmu. Mengiang - ngiang bagai suara igau anak kecil yang minta dibelikan mainan. Aku tetap setia mendengarkanmu, dialam mimpiku.
***
"Nduk, tolong buang kotoran bapakmu", pinta emak dari dapur. Aku masih sibuk menjemur pakaian. Kau mengerang lagi, " hwa, hwa, hwa!!!".
"Sabar , pak. Kalau habis jemurannya". Kau kembali diam.
Setelah habis jemuranku, kuhampiri dirimu terduduk lesu meringkuk diatas kursi panjang sekaligus tempat tidurmu. Pilu. Kuambil sarung penutup tubuhmu, yang bergelimang kotoranmu sendiri. Aku tak pernah jijik, hanya kuhentikan napasku sesaat sampai kubuang kotoranmu.
Kau seperti kedinginan. Terdengar dari suara dan mulutmu yang bergetar. Kubersihkan badanmu, dan kubalut dengan pakaian kesukaanmu. Kemeja putih, dan sarung lurik hadiah dari pakdhe dulu. Kau pun berbaring, berselimutkan kain jarit panjang yang menutupi ujung kaki hingga lehermu.
Lembayung senja mengikis garangnya mentari yang membakar bumi. Sekawanan ayam berebut masuk kekandangnya. Kumandang adzan maghrib pun terdengar di musholla. Kau masih tidur, atau tiduran dengan mata yang selalu terpejam.
"Makan, pak?", tanyaku. Kau hanya menggeleng dan bergumam lirih. Kutinggalkan kau sendiri. Aku akan berdoa semoga kesembuhan jasadmu segera dipenuhi oleh Sang Maha Kuasa.
Pukul sembilan malam, kau masih dalam posisimu. Kau seperti mengigau lirih, aku pun berusaha membangunkanmu. Tapi kau hanya bergumam "hem", aku mengerti. Aku semakin tak kuasa meninggalkanmu. Kubacarakan surat yasin disampingmu. Kuajak kau bercerita, namun kali ini aku yang bicara. Kau pendengar setia, sampai suara jangkrik mengerik memecah keheningan malam, tiba - tiba kau menjawab salam "waalaikum salam". Tak ada yang mengetuk pintu apalagi mengucapkan salam, ah, kau mengigau lagi. Aku pun tertidur disampingmu.
Adzan subuh memanggilku dari dalam mimpi dan membawaku kedunia menatap waktu. Pukul setengah lima pagi. Kulihat wajahmu, terlihat teduh, tenang, tak ada keriput. Dimana keriputmu? . Rahangmu seperti kembali, mulutmu tak menceng lagi. Aku merasa doaku telah dikabulkan. Akupun mencium tanganmu. Dingin, kaku.
Tubuhku terkulai, lemas. Kau telah meminum obat rindu itu, menyusul sahabat karibmu di kehidupan bukan jasad lagi. "Bapaaa...k!!!".
Umi Maghfirotin, lahir 3 mei 1988 di desa Klopoduwur, Banjarejo, Blora. Menamatkan pendidikan dasar di sd Klopoduwur, selanjutnya di Mts Maarif 2 Blora,dan melanjutkan ke MA Raudhotul Ulum Pati, Jawa tengah. Menempuh pendidikan terakhir di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Saat ini aktif mengajar tahfidz al-qur'an yang standnya di rumah sendiri di SumSel, dengan alamat Jl. Palembang - Jambi D2 duaun 4 RT:021 RW:004 Kelurahan Bukit, Kecamatan Betung, Kabupaten Banyuasin. Mulai suka menulis sejak SMU, sampai sekarang.

Comments
0 Comments