27 Sept 2012

Kisah Seorang Pahlawan; Pak Di

Pak Hardi beserta Istri dan putra keduanya
Ati-ati lho, nek kuwe nakal dijiwit, jiwitane cilik. Ungkapan bahasa jawa yang mempunyai makna "hati-hati lho, kalau kamu nakal nanti di cubit, dan cubitannya kecil". Itulah pesan sekaligus kesan tentang Pak Di yang sering diceritakan oleh para pendahulu saya, kakak-kakak yang mendahului saya belajar di kelas enam MI Miftahul Huda.

Kisah itu selalu berulang kepada setiap siswa, terutama bagi kelas lima yang akan naik ke kelas enam. Sehingga menambah ke-angker-an suasana kelas enam yang memang sudah angker oleh ujian nasional berikut juga ruangan kelas yang lebih gelap daripada kelas lainnya.

Begitulah kurang lebih cerita yang saya tau, tentang kelas enam dan penunggunya yang biasa dipanggil Pak Di.

Namun tak terasa, dalam waktu satu minggu di kelas enam kesan itu mulai luntur, dan uniknya kesan itu berbalik 180 derjat. Ternyata beliau orangnya suka bercerita dan banyak hal baru yang beliau ceritakan.

Pada hakikatnya beliau bukanlah orang asli desa saya. Beliau adalah anak gunung yang ditugaskan di desa saya untuk membantu mengentaskan masyarakat dari kebodohan. Sepak terjang beliau dalam mendidik sudah tidak diragukan lagi, beliau bukan hanya mengajar di MI tapi juga mengajar "ilmu tua" bagi para lansia.

Pernah ada satu masa yang tak bisa saya lupakan, ketika Mesir sedang bergejolak oleh revolusi menggulingkan rezim Husni Mubarok, kami sekeluarga pulang ke tanah air. Selang satu hari kepulangan saya, tiba-tiba sekitar jam setengah sepuluh pagi, dimana kelas sedang istirahat, saya kedatang tamu, yang tak lain adalah Pak DI dan Pak Zainuddin SK. Dua orang bertetangga yang kebetulan dua-duanya adalah guru saya.

Sebagai muridnya, kunjungan singkat itu sangat membekas. Orang kecil dan bodoh seperti saya sungguh tidak pantas mendapatkan perlakuan semacam itu. Justru sepatutnya sayalah yang harus tau diri dan sesegera mungkin untuk "Sowan" ke tempat-tempat beliau.

Setelah kejadian itu, saya mulai menyadari bahwa guru bukan hanya sekedar mengajar akal kita, tapi jauh lebih dalam daripada itu, guru juga menyayangi kita dengan hati. Terima kasih guru-guruku.

Beberapa waktu yang lalu saya mendengar kabar bahwa Pak Hardi sudah pensiun.

Rumah Pak Hardi
Putranya yg paling besar sudah menikah, dan tinggalnya jauh dari desa saya, putranya yang kedua bekerja di kalimantan, dan ada kabar akan dapat orang kalimantan. sekarang tinggal putra yang ketiga dan putri bungsunya yang masih tinggal bersama beliau di desa saya.

Pertanyaan yang sering muncul dari saya, apakah nantinya beliau akan pulang kampung juga, kembali ke desa dimana beliau dilahirkan. Karena saya tau dan saya melihat bagaimana beliau sangat merindukan desanya. lalu bagaimana dengan kami yang akan selalu merindukan beliau.

Manusia semuanya, termasuk saya dan pembaca pada akhirnya pasti akan kembali menjadi tanah, dikubur dan ditandai dengan nisan.

Alangkah bahagianya kami, seandainya beliau pada saatnya nanti bisa di semayamkan di desa kami, Supaya kami para murid bisa menjenguk beliau walau hanya kamis sore. dan supaya kami bisa menunjukkan kepada anak cucu kami nanti, tentang kisah seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang pernah diutus di desa kami. Sekali lagi terima kasih guru-guruku.

*Tulisan ini secara umum saya persembahkan kepada guru-guru saya, terkhusus buat Pak Hardi, karena hanya beliau guru yang bukan berasal dari desa saya. Tulisan ini saya buat di Mesir.
Comments
0 Comments