11 Sept 2010

Bangsa Yang Beradab Bukan Bangsa Yang "Biadab"

Seorang teman yang sedang pulang kampung ke negeri tercinta Indonesia pada suatu sore sempat bertegur sapa dengan saya lewat chatting menyampaikan sedikit unek-uneknya, dia begitu teriris dan bahkan tersayat-sayat perasaannya melihat perubahan di Indonesia, ya perubahan yang kurang menyenangkan, perubahan yang mengerikan.

Bagi kami para pelajar -dan juga non pelajar- yang sedang berada diluar negeri utamanya di Mesir, pastinya mendambakan untuk menatap hamparan padi yang menghampar seakan tak bertepi, merindukan suara merdu katak yang bernyanyi yang di iringi alunan gemericik air di parit. Kerinduan itu setiap waktu mengusik konsentrasi, dan sesekali mencambuk, mengobarkan semangat kami untuk segera pulang ke pangkuan ibu pertiwi.

Salah satunya adalah teman saya, sebut saja namanya Wahab, beliau termasuk orang-orang yang beruntung karena diberikan kesempatan oleh Allah untuk menjenguk indahnya hamparan padi dan untuk mencicipi manggis yang manis. keinginan pulang disamping motifasi bertemu orang-orang yang disayangi, tentunya juga di barengi keinginan untuk memperbarui semangat yang terkadang lenyap di hempas angin gurun.

Namun rencana mencari semangat untuk dikantongi dari tanah pertiwi sebagai bekal melanjutkan studi di luar negeri, sering terkikis oleh pesimisme yang memang sulit dihindari, melihat begitu carut-marutnya pemerintahan, kesenjangan sosial serta degradasi moral yang menghadang disetiap mata memandang, sehingga membuat banyak orang yang patah arang dan hanya mampu pasrah sambil mengungkapkan "wallohu a'lam".

Namun teman-temanku harus menepis jauh pesimisme dan terus memupuk optimisme, tulisan ini secara khusus saya persembahkan bagi dua teman saya yang sedang mencoba mencari apa yang mereka cari di Indonesa Wahab dan Denny, dan tulisan ini juga dipersilahkan untuk di baca bagi siapa saja yang peduli terhadap moral dan juga keharmonisan manusia maupun alam Indonesia.

Bangsa yang beradab telah disandang bangsa Indonesia sejak ratusan atau ribuan tahun yang lalu, predikat beradab bukan semata-mata klaim tanpa didasari kenyataan, namun predikat beradab adalah predikat yang mengalir begitu saja karena perilaku yang sopan dan santun, ramah serta saling menghormati antar sesama yang menjadi budaya masyarakatnya.

Menjelang akhir abad 20 tepatnya Mei tahun 1998 Indonesia di gegerkan dengan tragedi yang menimpa saudara kita etnis Tionghoa, mereka (etnis Tionghoa) di dholimi oleh manusia-manusia bejat yang berkeliaran di negeri yang katanya beradab, orang-orang Tionghoa dibakar hidup-hidup, hartanya di rampok dan para perempuan di jarah kesuciannya, ironis hingga menyimpan bekas yang sulit di hilangkan bagi manusia yang berakal.

Tragedi itu adalah tragedi besar di penghujung abad, sekaligus pintu gerbang abad 21 yang lebih mengisahkan kisah-kisah tragis dari seluruh penjuru negeri, tragedi itu pula dan tragedi-tragei lain yang silih berganti sampai sekarang (2010) membuat saya mempertanyakan masih layakkah Indonesia menyandang gelar terhormat yaitu gelar Bangsa yang beradab, atau justru kita berubah menjadi bangsa yang "biadab".

Kembali lagi saya mengajak seluruh pembaca tulisan ini untuk menyoroti budaya santun, ramah dan sikap saling menghormati yang akhir-akhir ini hilang di telan zaman.

Santun sering disandingkan dengan sopan, sehingga menjadi susunan idhofah sopan santun. Dalam KBBI (kamus besar bahasa indonesia) cetakan ke-3, kata sopan sama dengan beradab (tt tingkah laku, tutur kata, pakaian dsb), sehingga jika ada orang yang tingkah laku, tutur kata, cara berpakaian tidak baik menurut norma masyarakat maupun norma agama, maka kita bisa menyebutnya sebagai orang yang tak beradab (jika kita mengacu pada istilah bahasa indonesia).

jika kita lihat para pemimpin -mungkin tepatnya penguasa- negeri kita Indonesia. Apakah tingkahnya sudah baik, mungkin baik tapi hanya di depan kamera, apakah tutur bahasanya bagus, mungkin, tapi cuma menjelang pemilu, apakah cara berpakaiannya sopan, ya sopan, karena harganya terlalu mahal, ironis.

Saya tidak memukul rata semuanya, namun saya kira banyak pembaca yang sependapat dengan saya bahwa mayoritas dari mereka adalah orang-orang brengsek, sebab hanya orang brengseklah yang suka berhianat, sebab hanya orang brengseklah yang tega bermewah-mewahan padahal disekelilingnya banyak anak-anak yang kelaparan pengetahuan, kelaparan akan makanan. Cukup, saya tidak mau meneruskan membahas para penguasa negeri ini, aku malu karena aku bagian dari negeri ini.

Tidak cuma sampai di situ sobat sekalian, Guru sebagai tokoh yang dibebani untuk mencetak generasi yang cerdas, cermat dan bersahaja sekarang sulit dicari. Bahkan, istilah "pahlawan tanpa tanda jasa" yang disandang guru-pun harus di rubah menjadi "pahlawan harus ada tanda jasa", karena tanpa tanda jasa (uang) saya kira banyak sekolahan yang gulung tikar gara-gara tidak ada guru yang mendaftar.

Bagaimana generasi kita bisa matang, jika banyak guru yang kurang matang. sering saya menonton dan membaca berita, ada guru mencabuli muridnya, ada guru menganiaya muridnya, kalo seperti itu jangan heran jika peribahasapun menjadi lebih keras "guru kencing lari murid kencing salto".

Moral generasi harus ditata kembali, jika kita ingin menciptakan masyarakat yang berbudi luhur, sehingga menjadikan bangsa yang beradab. Kita harus melakukan perubahan yang hari ini lebih baik dari hari kemaren, dan besok lebih baik dari hari ini.

Jangan ada lagi bayi di tong sampah, di kamar mandi apalagi hanyut di bawa arus comberan. Jangan pula berpakaian sopan menutup apa yang tak boleh kelihatan hanya perlu dilakukan oleh ustad maupun ustadzah.

Tidak boleh kita berpura-pura menutup mata melihat orang tua sempoyongan membawa barang sendirian, ulurkan tangan kita karena mungkin saja itu akan menambah bandul timbangan baik kita untuk bisa masuk surga.

Jangan suka membakar, memukul, menganiaya apalagi membunuh orang lain, karena jika kita berintrospeksi, mungkin justru kita sendiri yang layak diperlakukan seperti itu.

Terlalu banyak problematika bangsa kita, hingga saya tak mampu menguraikan satu persatu, ibarat tubuh mungkin penyakitnya sudah komplikasi, namun semangat harus selalu menyala karena semangat terkadang mengalahkan logika. Hanya ini sedikit nasehat yang ingin saya sampaikan pada diri saya sendiri, teman=teman saya dan alhamdulillah jika bermanfaat bagi para pembaca.

Terakhir saya mengajak pada semua termasuk saya, mari kita tunjukan dan kita buktikan bahwa Indonesia masih layak bergelar Bangsa yang Beradab. Terima kasih.
Comments
4 Comments