18 Oct 2016

Sebelum Kau Benar - Benar Haram Ku Cintai

Kau itu cantik, bisa dibilang kau adalah bunga desa di kampung kita. Semua laki - laki yang merasa tampan akan mempertaruhkanmu demi kepuasan hatinya. Pun laki - laki yang berkantong tebal, menawarkan seribu janji untuk selalu membahagiakanmu. Jangan hiraukan aku. Aku hanyalah laki - laki miskin yang tak punya suatu apa untuk kupertaruhkan  demi mendapatkanmu. Kau selalu berharap ada keajaiban kecil yang merubah takdir kita. Mustahil.
Lihatlah orang tuamu, begitu berharap agar si Radit memboyongmu kepelaminan. Setiap hari kau dibonceng motor honda barunya, aku hanya menatapmu diatas sepeda ontelku. Kau lebih pantas bersanding dengannya. Aku tak mau kau berubah menjadi kusut dan tak terawat kalau menjadi isteriku, lantaran aku tak mampu membelikan kosmetik andalanmu. Biarlah aku tetap melihatmu cantik meski kau bukan milikku.
Kau dan aku berpura - pura saling mencintai. Lebih detailnya aku sangat mencintaimu dan kau pura - pura mencintaiku. Menyakitkan bukan? Itulah yang kusebut pengorbanan sia - sia. Namun aku tak bisa berpaling darimu. Kau selalu menyeretku ke dalam jebakan cinta palsumu, apa maksudmu?. Melihatku mengemis cintamu, apakah membuatmu senang?membakar api cemburu saat kau dibonceng motor baru, suatu kebanggaan kah? Gadisku, lepaskan lah aku dari jerat cintamu.
Setiap hari secarik surat cinta kau layangkan padaku, melalui pos pribadimu. Goresan - goresan pedih yang seolah kau rasakan ketika harus melepaskanku, menyayat lubuk hati ini. Hentikanlah semuanya. Lupakan saja keajaiban kecil yang kau rindukan itu. Aku bukan yang terbaik untukmu, meskipun aku teramat mencintaimu.

Maafkan aku, Yudha. Aku terpaksa melakukan semuanya. Orang tuaku memaksaku. Aku tak berdaya. Aku berharap ada keajaiban kecil merubah takdir kita. Aku masih akan tetap mencintaimu, selamanya.

Bau harum dari kertas suratmu membiusku seperti pesakitan yang ingin berontak dari ranjang tidurnya. Aku terkulai di atas dipanku sendiri, menatap langit - langit rumah yang seolah akan jatuh menimpaku. Baik kupejamkan mata ini, bermimpi menyambut gadisku di ruang hati yang hampir hancur. Badai cinta menyambar nya berkali - kali. Namun masih bisa bertahan, sampai waktu akan bercerita bahwa gadisku di culik orang.
Radit, anak juragan tanah itu melamarmu, dan tentu saja kau menerimanya. Kau berharap aku datang menjadi seorang pahlawan yang menyelamatkanmu dari kubangan lumpur hitam. Lupakanlah aku. Kau sudah menerimanya, entah dengan terpaksa atau senang hati, kenyataannya kau akan menjadi isterinya. Itu saja.
Aku harus pergi dari kehidupanmu. Pergi sejauh - jauhnya dari desa ini. Aku tak mau nantinya terjadi kisruh bila kita terus - terusan berkirim salam lewat sepucuk kertas bermotif cinta. Terang saja, sebelum kepergianku, ternyata kau harus pergi dulu. Ketempat aku tak bisa menjangkaumu lagi. Orang tuamu mungkin telah mengetahui hubungan kita, dan sengaja memisahkan kita dalam jarak ruang dan waktu yang begitu lama. Kau pergi entah kemana. Biarlah terjadi, ini memang harus terjadi. Aku akan pergi ke sebuah negara di Timur Tengah melanjutkan studiku, berkat beasiswa yang kuraih dari kedutaan Mesir .
***
Dari ujung benua, aku menerima kabar pernikahanmu. Aku bahagia, karena aku sudah menemukan penggantimu disini. Dia tak secantik dirimu, tapi dia yang membuatku tenang. Menapaki kehidupan baru dan melupakan dirimu.
Dua bulan berlalu, kau mungkin tengah mengandung anakmu. Diam - diam akupun mencari kabar tentangmu. Ibuku yang memberitahuku, bahwa kau lari dari rumah suamimu. Kau juga sempat meminum racun dan dibawa ke IGD. Kau setengah gila, apa benar - benar gila. Kenapa tak kau lakukan sejak dulu. Kenapa kau tak lari sebelum menerima pinangannya. Kenapa kau tak minum racun sebelum memegang pinggangnya diatas motor baru itu. Apa yang kau tunggu? Aku? Tidak mungkin. Aku sudah hancur. Jangan berusaha menyambung kembali puing - puing sukmaku. Enyahlah dari hidupku.
Batinku remuk. Gadisku terluka mungkin karena aku yang tak berdaya. Namun aku tak bisa kembali. Aku tak mungkin menggenggam dua kuntum bunga sekaligus di tanganku. Kau adalah mawar yang pernah menusukku dengan durimu. Karena itulah kupilih melati yang putih, bersih, selalu bersinar kala ku memandangnya.
***
Tiba waktunya aku harus segera menikah. Melepas masa lajang yang penuh ombak kebimbangan. Harus kuputuskan untuk menikahi gadis pilihanku. Agar bayangmu segera pergi dari hidupku. Aku pulang kenegeri tempat kita bertemu. Indonesia. Calon bidadariku masih di Mesir, baru setelah mendekati hari pernikahan, dia akan kupanggil pulang.
Didesaku, suasana masih seperti dulu, sebelum aku pergi. Hanya saja, kau sudah tidak disini. Kau melayang jauh di pulau seberang, di pulau Sumatera.
Aku berusaha mencari nomer telponmu, dari kawan lamaku yang kebetulan tinggal satu desa denganmu dipulau seberang. Meski nomer telpon sudah ku pegang, namun aku ragu untuk memencet tombol hijau bergambar telepon di ponselku. Aku resah, aku teringat calon isteriku. Tanganku tak bisa kompromi. Tiba - tiba ponselku berdering lebih dulu sebelum sempat kutekan tombol hijau. Buru - buru kuangkat namun kutahan suaraku.
"Halo....halooo.....haloo...", suara perempuan.
"Halo", jawabku kemudian.
"Ini nomernya Yudha kah?".
"Ya, siapa ini?"
"Kawan lama. Apa kabarmu? Lama sekali aku ingin mendengarkan suaramu. Kau pasti sudah mendengarkan kabar tentangku. Aku tak bisa....".
"Ssssst..pelankan suaramu", aku mulai menangkap suaramu dengan sinyal - sinyal di hatiku. Itu pasti kau, pasti. "Kau tak dimarahi ayahmu? Nelpon aku?".
"Ayahku sedang pergi, aku pinjam hpnya tapi aku pakai nomerku sendiri. Kau dimana sekarang? Aku dengar kau di Mesir?".
"Aku pulang, dan aku ingin mengatakan sesuatu padamu".
"Sama. Aku pun ingin mengatakan sesuatu padamu".
"Siapa duluan? Kau?".
"Kau saja".
"Tanggal 26 agustus....aku....", tak kuasa meneruskan kata - kataku.
"Married?".
"Benar". Sinyal terputus. Kucoba menghubungi lagi, hanya suara nyonya veronika memintaku meninggalkan pesan. Aku khawatir kalau dia menenggak racun lagi. Ku hubungi kawanku disana, agar terus mengontrol dirimu, kau jangan mati. Tubuhku limbung diatas tempat tidurku. Aku melakukan kesalahan. Tapi aku harus mengatakannya. Demi kebaikan kita bersama.
Bersabarlah, aku akan menemuimu. Pulau Sumatera, tujuanku selanjutnya. Aku ingin melihatmu terakhir kali sebelum aku benar - benar haram mencintaimu.
***
Pulau Sumatera. Wajahmu terus menghantui setiap perjalananku. Aku sudah tak sabar ingin melihatmu sekian lama. Aku iba denganmu, kau pasti terluka dengan pernikahanmu. Cibiran tetangga, menganggapmu pelacur, tentu sangat menyakitimu. Ijinkan aku menghiburmu. Memberi semangat kepadamu, sebelum aku benar - benar haram mencintaimu.
Seandainya, aku belum menemukan melatiku. Seandainya aku nekat melamarmu dulu. Seandainya...ah, seandainya. Penyesalan memang tak pernah berguna. Aku benci diriku sendiri. Naif. Pecundang.
Didesa tempatmu tinggal. Aku bernaung dibawah rumah kawan lamaku. Setiap pagi, siang, sore, aku menunggumu diteras rumah kawanku, siapa tahu kau berlalu melewatiku dan menoleh padaku.
Statusmu masih belum jelas. Janda, kau belum diceraikan.  Gadis, kau sudah pernah menikah. Janda kembang, orang - orang memanggilmu. Aku semakin bimbang. Keputusan sudah terlanjur ku ambil. Oh Tuhan, jauhkanlah aku dari kenistaan.
Keberadaanku disini memang tak diridhoi Tuhan. Aku telah mencampakkan tanggung jawabku. Sebentar lagi aku menikah, dan kau tak kunjung ku temui. Aku hampir putus asa, sebelum akhirnya sosokmu melintas didepan rumah ini. Kerudung biru, berkelebat diterpa angin. Dari belakang, kau seperti menyapaku. Entah hayalanku saja. Sepeda motor yang kau boncengi terlalu kencang, sampai aku tak bisa menatapmu dalam - dalam, dari belakang. Ya, kau berlalu memunggungiku. Itu artinya aku ditakdirkan tak boleh melihatmu. Selamanya.
"Yudha, cepatlah pulang. Kamu menikah empat hari lagi. Kamu sekarang dimana?", ibuku sudah mengultimatum dari Jawa.
"Iya bu. Aku segera pulang". Kali ini kau benar - benar marah padaku. Aku menyerah. Aku tak mungkin mencintaimu lagi. Selamat tinggal gadis pujaanku.
***

Comments
0 Comments