18 Oct 2016

Entah Ludah Siapa Yang Tersangkut Di Kerongkongan

Di atas pohon buah berkikir lima - kalian menyebutnya buah belimbing - aku duduk, bertengger layaknya seekor burung bertandang di sarangnya. Menikmati hembusan angin sepoi - sepoi ditengah terik matahari. Aku menyaksikan mereka sama sekali tak merasa kepanasan. Lalu lalang, dari ujung barat ke ujung timur, bolak balik, tertawa bahagia, di atas sepeda kecil mereka. Teriknya matahari yang membakar kulit - kulit hitam mereka, membuat wajah mereka terlihat nanar, merah bercampur hitam, di sapu angin dan debu jalanan setapak itu. Orang tua mereka tak keberatan, tak ada yang mencari dimana anakku, tak ada yang menyuruh untuk tidur siang, apalagi belajar mengerjakan PR.

Apakah kalian pernah menjadi sepertiku? Menjadi seorang anak yang selalu di larang untuk mengerjakan sesuatu yang membuat kita senang, namun tidak bagi mereka para orang tua? Aku pernah. Aku pernah membenci orang tuaku sendiri, lantaran aku di larang main sepeda bersama kawan kawanku setelah pulang sekolah. Setiap aku pergi bermain bola, baru satu putaran permainan, suara ibuku sudah melengking menyuruhku pulang. Malu, itu pasti. Disebut anak mami, begitulah diriku.

Aku iri pada kawanku, Kholil. Semua permintaannya di turuti orang tuanya. Semua keinginannya, di penuhi juga. Orang tuanya tak pernah memaksakan apapun. Gayanya bak jutawan. Bajunya rapi selalu masuk celana, di ikat dengan tali pinggang. Model rambutnya, selalu kekinian. Baunya selalu harum. Berbalik seratus delapan puluh derajat dengan diriku.

"Aku takut sama ibumu, nanti kena marah", papar Kholil, masih dengan gayanya yang sok borjuis, duduk bersila di atas dipan di belakang rumahku. Baru sekarang ia mengutarakan alasannya tidak mengajakku bermain bola di dusun tetangga waktu itu. Dua puluh tahun yang lalu.
"Bukan. Kau pasti mengira aku tak bisa bermain bola. Padahal, setidaknya aku bisa jadi kiper". Kataku menolak alasannya.
"Kenapa kau tak bilang, dulu?", tanyanya padaku.
Aku diam, sambil menghisap cerutuku dalam - dalam. Aku masih ingat, aku memang sering kalah ketika bermain bola. Setiap kakiku terluka entah karena saling tendang, atau luka terjatuh, aku menangis, dan mengadu pada ibuku. Hasilnya, mereka kena marah ibuku, atau nenekku.

Selain itu, aku juga tahu. Kholil anak orang kaya, komplotannya juga anak orang kaya. Apalah diriku, yang hanya mengemis sejumput mie instant yang di remas mereka waktu itu. Semangkok bakso yang mereka telan, hanya menyisakan aroma di bau mulut mereka. Yang sesekali mereka hembuskan tepat di depan hidungku. Hahh.

Suatu ketika, komplotan Kholil mengajakku berpetualang di ladang. Petualangan yang lebih layak disebut kelayapan itu, tak mungkin mendapat izin dari ibuku. Tapi, di sela - sela waktu tidur siangnya, aku bisa.

Meskipun aku harus ikut terbakar panas matahari, tak menyurutkan tekadku untuk bergabung dengan mereka. Dan benar saja, di tengah ladang - ladang terbuka, panasnya bagai di panggang di atas seng yang di bawahnya bara api memuncratkan titik panas maksimum melebihi seratus derajat selsius. Aku harus berpura - pura biasa saja, di hadapan mereka yang terlihat tenang dengan teriknya sinar matahari di atas kepala. Satu persatu dari mereka mulai memetik ketimun. Mereka sangat cepat, dalam semenit saja, ada yang sudah mengantongi sepuluh buah ketimun, ada yang lima buah. Aku sepertinya yang hanya mendapatkan dua buah. Tiba - tiba ...

"Whoy...!!!maling....maling!!!".

Semua kawanku berhamburan berlari dengan kecepatan rusa jantan, menjauhi pak tani yang memergoki kelakuan kami. Mencuri. Sebuah istilah yang tak sempat ku pahami waktu itu. Sedangkan aku, aku memang bodoh. Aku lupa apa yang ku pikirkan saat itu hingga aku harus berdiam di tempat, tidak mengikuti mereka yang telah melaju lebih dulu. Inilah hari sialku. Pak tani pun mencekalku. Aku menjadi tersangka, tanpa bantuan hukum, tanpa pembela, aku di bawa ke sidang istana.

"Oy...Sardi. Ini anakmu?", tanya pak tani pada orang tua palsuku. Karena aku berbohong ketika di tanya anak siapa aku.
"Bukan, ini anak wak Limin",  jawabnya kemudian," emangnya kenapa dia?".
"Dia mencuri ketimunku".
"Ah nggak mungkin, aku tahu siapa Irul. Dia anak baik, nggak mungkin mencuri".
"Ya sudah, bilang sama orang tuanya, dia memang mencuri. Kalau tidak, bagaimana aku bawa dia kesini? Sudahlah aku ke ladang dulu".

Pak tani pun berlalu. Aku menatap wak Sardi. Aku ketakutan setengah mati. Bukan takut di bui atau di hukum mati. Aku takut ibuku.
"Rul, sana balik. Jangan kelayapan lagi ya. Aku nggak akan bilang sama ibumu". Aduh baiknya wak Sardi. Aku pun segera pulang setelah mengucapkan terima kasih.

"Kau itu memang culun, Rul. Masak kau lihat kita berlarian kau diam saja? Nggak cerdas amat sih?". Khalil mengejekku dengan canda tawanya yang renyah.
Kami duduk di belakang rumahku. Bayang - bayang dedaunan pohon belimbing yang tertiup angin, menari - nari di atas dipan yang kami duduki. Kami pun hanyut dengan peristiwa dua puluh tahun lalu.
"Trus, kau dimarahi ibumu? Penampilan kamu pasti aneh waktu itu".
"Ibuku tidak marah, beliau kan nggak tahu".

Waktu telah memisahkan kami cukup lama. Aku sekolah di Mesir, dia merantau di Kalimantan. Idul fitri telah mempertemukan kami di desa kelahiran ini. Desa tempat kami bersekolah dasar, bermain, dan berlaga.

Bahkan, aku memilih bermain masak - masak bersama anak perempuan disamping rumah tetanggaku. Ibuku tak akan memarahiku, karena permainan ini bukan jenis permainan yang mengharuskan kelayapan. Setiap kali aku minta sekaleng beras, sedikit tepung, atau minyak goreng, dengan senang hati ibuku memberinya. Namun jujur, bermain masak - masak itu menyenangkan. Tak ada saling tendang, yang berujung sakit. Tak ada saling mengejek, karena di situ bukan permainan kalah atau menang. Yang ada hanyalah senang dan kenyang. Permainan inilah yang menjadi pelarianku ketika aku tersingkir dari zona permainan anak jantan, kata mereka.

"Kau sekarang sudah sukses Rul, lulusan Mesir. Mana ada kawan kita yang berhasil sekolah tinggi macam kau. Kabarnya kau mau nikah?, dengan siapa?".
"Hmm, nanti kau juga tahu. Kau sendiri? Masih bujang? Betah banget sih".

Aku menatapnya menghela napas panjang. Ia mulai merebahkan tubuhnya di atas dipan yang kami duduki. Udara panas di siang hari menyapu wajah kami yang seketika sunyi.
"Aku memang masih bujang Rul, karena aku belum pernah menyentuh isteriku sama sekali sebelum dia kabur dari rumahku".

Dahiku mengernyit, namun ku simpan pertanyaanku dalam dalam di otakku. Kholil masih ingin melanjutkan ceritanya. Tanpa berkata apa - apa, ku beri dia kesempatan untuk mengungkap segalanya.

"Kau tahu? Gadis yang sama - sama kita incar dulu?". Tanya Kholil masih sambil berbaring.
"Lani maksudmu?".
"Ya. Kau benar. Keluargaku telah bersusah payah melakukan apa saja demi aku agar bisa menikahi dia. Dia terlalu banyak syarat. Aku harus sudah punya rumah sendiri, punya pekerjaan, punya kendaraan, perhiasan pun dia minta. Semua sudah aku turuti. Harta orang tuaku habis untuknya. Entah kenapa aku harus memilih dia, yang akhirnya meninggalkanku".

Aku masih tak berkomentar apa - apa, sambil sesekali ku lirik ponselku yang bergetar tanda pesan masuk. Pesan dari Lani. Gadis yang sama - sama kami incar sejak SMP dulu. Gadis yang terlampau cantik dengan model rambut yang selalu baru. Hinar binar matanya yang hitam legam menatap tajam. Senyumnya yang menawan kala menyapa kami. Raut muka yang sedikitpun tak pernah merasa sedih. Tanganku pun bergetar bersama getaran ponsel di genggamanku.

Aku sempat bertaruh dengan Kholil. Aku yang akan mendapatkan Lani. Namun, takdir harus memisahkan aku dengan Lani. Karena tujuan sekolah lanjutan kami berbeda.

"Setelah menikah, Lani tak mau kusentuh walau sedikit. Dengan alasan masih belum siap, atau sedang tidak enak badan, atau entahlah. Ternyata, belum seminggu kami menikah , ia kabur dengan membawa semua uang, dan perhiasan. Aku syok".

Aku juga syok. Dengan segenggam cinta yang ku rajut bersama Lani. Kholil tak menyadari, bahwa cintanya ada dalam genggamanku. Mulutnya masih mencaci maki mantan isterinya, yang sekaligus calon isteriku. Suaranya terdengar seperti lebah mengiang hendak menyengatku. Siapa sangka dia adalah dia. Dia adalah mantan isterimu. Dia adalah calon isteriku. Dia adalah gadis yang sama - sama kita idamkan dulu.

"Sekali lagi jika aku bertemu dengannya, pasti akan ku ludahi mukanya. Juhhh".

Seketika ludahnya telah masuk dalam mulutku. Aku hanya bisa menelan ludah yang entah ludah siapa yang tersangkut di kerongkongan. Hatiku semakin tak karuan.

"Kalau kau bertemu dengannya, bilang padanya, akan ku potong lidahnya. Yang pernah membujukku menyerahkan semua harta orang tuaku hanya demi menjadikannya isteri. Juhh".

Sekali lagi aku menelan ludah entah ludah siapa yang tersangkut di kerongkongan. Hatiku semakin tak karuan.

"Semoga isterimu nanti nggak seperti Lani, Rul. Semoga kau tak senasib denganku. Oya, kau belum kasih tahu siapa calon isterimu?".

"Hahahaha.... nanti juga tahu".
"Jangan - jangan calon isterimu jelek, miskin, janda. Pakai di rahasiakan segala, Rul".
"Calon isteriku cantik, lemah lembut, berjilbab, dan baik hati".
"Bagus, bagus, yang penting jangan seperti Lani". Kata terakhir yang ia ucapkan sebelum berpamitan pulang.

Hatiku seperti di tikam belati tajam. Menatap punggung Kholil yang pergi meninggalkanku, aku seperti kehilangan. Ia seperti bukan temanku lagi. Dari kejauhan, ia lebih mirip singa yang setiap saat siap menerkamku. Meskipun, saat ini belum tahu aku lah mangsanya.

Comments
0 Comments