12 Oct 2016

Karneih

Musim dingin di kota Kairo. Dengan suhu paling rendah 4 derajat celcius. Puncaknya di bulan Januari. Bersamaan dengan diselenggarakannya ujian termin awal bagi mahasiswa Universitas Al Azhar, Kairo. Dingin, dan kering. Tak ada hujan. Seluruh kulit terasa bersisik ketika diraba. Permukaan bibir akan pecah, koyak dan berdarah, jika tak rajin mengoleskan lip balm atau mosturizer bibir. Jaket kulit tak mampu menjadi tameng penghalang hawa dingin. Minimal tiga lapis pakaian yang harus dikenakan ketika berada diluar rumah.
Pohon - pohon Erythrina caffra, pohon Karang Afrika menyisakan ranting setelah ribuan daunnya berjatuhan disepanjang musim gugur, bunganya yang merah merona membalut setiap ranting tak berdaun diatas ketinggian lima meter. Dibawahnya nampak seorang gadis, tengah memelototi buku diktat tebal dipangkuannya. Hafalan mukorror - buku diktat - terdengar disetiap sudut asrama puteri khusus delegasi.
Nabila, salah satu mahasiswi tingkat tiga, sedang tergesa - gesa untuk berangkat ujian, meski ia sedang terkena hassasiyah - alergi musim dingin - yang menyerang kulit luarnya, menimbulkan rasa panas dan gatal. Pakaian tiga lapis, jaket wol, jilbab lebar, syal, sarung tangan, masker - penutup hidung dari hawa dingin agar tidak kering - kaos kaki, sepatu, harus lengkap tak boleh kurang satupun. Karena di arena terbuka, segala kemungkinan hal tak terduga harus di antisipasi sebelumnya.
Didalam tramco - angkutan umum - sambil menghafal materi - materi ujian, saking fokusnya, sampai tak terdengar teriakan sopirnya.
"Ya anisa!!! Kulliyah dih, nazlah wala la a?", hey, gadis perempuan, ini sudah di kuliah, mau turun apa nggak?. Seru sopir tramco mengejutkan Nabila.
" aywa ya astho, syukron", ya, pak. Terima kasih.
Nabila bergegas turun dan menuju pintu gerbang kampusnya. Ia masih harus berjalan lima puluh meter untuk sampai ke pintu gerbang, diatas trotoar selebar jalan raya. Lalu lalang para mahasisiwi silih berganti, keluar masuk gerbang kuliah. Para pengemis pun bertambah dari hari biasa, berjajar disepanjang dinding pagar. Mereka sering memanfaatkan momen ujian untuk meminta sedekah. Karena mereka tahu, masa ujian adalah puncaknya gairah beramal bagi para mahasiswi. Mereka percaya, bukan hanya lembaran kertas jawaban, yang menentukan kelulusan. Namun ada faktor X dan Y, titik koordinasi antara manusia dan Tuhannya.
Nabila berjalan menaiki sebuah tangga digedung fakultasnya. Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Al Qur'an. Sesekali memberikan salam kepada setiap dosen yang kebetulan berpapasan dengannya.
Didalam ruangan ujian, ia kembali menelaah materi ujiannya, sambil menyiapkan segala keperluan ujian. Pena, penggaris, karneih -kartu ujian.
"Aduh maak!!! Karneih nya lupa. Paspor juga lupa. Nabila...mikirin apa aja semalam, semua jadi lupa".
Ia mempercepat langkahnya untuk segera keluar gedung, pulang ke asrama, dan mengambil kartu ujian. Masih ada waktu seperempat jam, harus bisa terkejar. Karena ujian tidak bisa diikuti jika tidak membawa identitas diri. Kecuali ada saksi. Minimal empat saksi yang harus menyatakan bahwa anak ini adalah mahasiswi disini dan mengikuti ujian di ruangan ini.
GRUDUGG. DAAR!!! Gemuruh di langit Kairo memberikan tanda akan turunnya hujan. Hujan terhitung langka di sini, namun sejak dua tahun terakhir, gerimis sesekali jatuh di kota ini. Nabila terus berlari setengah panik menuju halte. Barisan otobus dan tramco memenuhi depan halte, namun tak satupun yang menuju asrama tempat Nabila tinggal.
"Ya Robbi. Kasihanilah hambamu ini ", pekiknya dalam hati. Langit semakin gelap, awan hitam menjalar dari ujung timur ke barat. Semilir angin musim dingin menggigit tulang - tulang berselimut jaket lusuh yang disapu butir debu di kota Kairo. Bulir - bulir mutiara air yang terbawa angin membentuk goresan diagonal diatas jalan hitam. Hujan.
Air hujannya memang tak sederas hujan di Indonesia. Tapi sangat dingin. Setiap tetesnya membawa buliran debu yang terbang bebas di udara. Tak pelak, setiap pakaian yang terkena tetesannya, pasti membentuk bintik - bintik coklat perpaduan antara air dan debu padang pasir.
Nabila masih berdiri di halte. Sekian nomer telepon temannya yang diasrama dihubungi untuk dimintai pertolongan. Waktu masih sepuluh menit lagi. Tak satupun yang mengangkat telponnya, mendengarkan seruan Nabila meminta pertolongan. Semuanya tengah sibuk dengan mukorror , biasanya handphone dimatikan saat kondisi belajar.
Nabila tak punya pilihan. Ia harus mengambil alternatif sambung kendaraan, dengan menaiki bus jurusan mana saja yang menuju halte wilayah terdekat dengan asrama. Kemudian naik tramco dari wilayah tersebut menuju asrama.
Roda bus seakan begitu lambat jalannya. Berjejal dengan penumpang lain yang tak kebagian tempat duduk, adalah hal paling menyebalkan bagi Nabila. Matanya terus mengarah keluar jendela, seolah ikut memacu kecepatan minibus yang dinaikinya. Sesekali terdengar umpatan - umpatan orang Mesir tentang hujan yang membuat kotor jaket - jaket mahal mereka.
Sampailah Nabila di asrama. Karena lupa menaruh karneih nya dimana, seluruh rak buku di obrak abrik tanpa ampun. Selembar dua lembar buku dibolak baliknya, namun nihil hasilnya.
" Dimana karneih ku?!!!", Nabila menggerutu sendiri, sampai ingatannya pulih kembali.
" jaket hitam. Ya, di jaket hitam", barulah akhirnya ia teringat jaket hitam yang sempat ia gantung di kamar mandi dan lupa mengambilnya. Diliriknya jam tangan. Tiga menit lagi.
"Harus sampai. Harus sampai. Ya Allah, berikan aku kecepatan tinggi", dengan terburu - buru ia menuruni tangga di asrama. Sapaan petugas asrama pun tak digubrisnya. Kali ini ia harus naik taksi, agar lebih cepat sampai di kuliah. Ia tak lagi menghafal materi, hanya doa mohon dipercepat yang selalu dipanjatkan. Sekitar lima belas kilometer, jarak asrama dengan kuliah. Namun, sayang, jalanan macet. Dua orang paruh baya bertengkar ditengah jalan, lantaran tak terima mobilnya diserempet oleh yang satunya. Pihak satpol berusaha melerai mereka. Namun adu mulut seakan tak ada ujungnya. Masih macet.
Selama lima belas menit terjebak diantara deretan mobil - mobil kota. Suara klakson melengking berkali - kali memekikkan telinga. Terbayang dibenak Nabila, lembar soal dengan nomer satu sampai dengan lima. Setiap nomer memiliki anak a, b, c, d, dan e. Setiap anak memiliki karakter berbeda. Anak pertama, minta cerita. Anak kedua sebutkan sampai berapa, anak ketiga bagaimana pendapatmu, anak keempat berikan contoh yang sesuai, sedangkan anak kelima siapa saja tokoh dibaliknya. Ah, kenapa tak sampai juga.
Ia baru sadar, kalau sopir taksi mengambil jalur memutar menuju kuliahnya. Alih - alih cepat sampai, ia malah diajak jalan - jalan mengelilingi jantung kota. Sopir yang curang, mengambil jalur panjang, agar cargonya juga ikut panjang.
" ya astho, kenapa lewat jalur sini? Saya kan minta langsung kekuliah?", tanyanya gusar.
" iya, ini kekuliah. Bentar lagi sampai".
" saya tau jalur ini, saya tidak bodoh. Seperempat jam lagi baru akan sampai ke kuliah, itupun kalau tidak macet. Saya ini ujian, saya terburu - buru. Bapak malah ngajak saya muter - muter. Haram alaik, ya astho". Tidak boleh begitu dong pak.
" maalesy ya sity, sorry sorry, saya akan percepat mobilnya", sopir taksi itu meminta maaf.
Masih dengan menggerutu, Nabila terus berdoa agar diberi kemudahan. Tidak ada jalan pintas, jalur memutar tetap harus ditempuh.
Dua ratus meter lagi menuju pintu gerbang kuliyah. Roda depan mobil taksi bocor. Nabila memilih turun dan lari sekencang kencangnya. Dalam hatinya, ia berdoa, semoga masih diperbolehkan mengikuti ujian. Terlambat hampir satu jam.
"Assalamu alaikum", Nabila mulai memasuki ruangan.
"Waalaikum salam, aywa ya anisa", jawab pengawas ujian.
" maafkan saya, saya terlambat. Tadi saya sudah kesini, tapi lupa membawa karneih. Lalu saya pulang ke asrama, di perjalanan macet, jadi saya terlambat. Bolehkah saya mengikuti ujian?".
Kedua pengawas nampak berbisik - bisik mengisyaratkan sesuatu.
" sebaiknya kamu ke dekan fakultas. Minta izin sama beliau, ceritakan kronologimu, dan setelah mendapatkan izin, baru kesini lagi".
Aku tak pernah berharap seperti ini. Aku sangat payah. Payah.
Dengan langkah gontai, Nabila menemui dekan fakultas. Setelah mengucapkan salam, ia menceritakan seluruh kronologinya, dan nampaknya dekan fakultasnya memahami kondisi Nabila. Bersama dekan, Nabila berjalan menuju ruangan ujian. Nabila dipersilahkan duduk dan mengikuti ujian. Nabila pun tak henti - hentinya mengucapkan terima kasih pada ketiga orang itu. Lega.
***

Comments
0 Comments