19 Sept 2016

Mengajar Mengejar Cahaya

Tiga orang memasuki warung kopi Lek Man. Ustad Salim Siagian yang berpeci ulos khas batak, segera melepas sandal dan langsung naik ke lincak lebar dari bambu, melipat kakinya, bersila.
Wajahnya sedikit kusam. Satam telihat lebih ganteng dari yang seharusnya, berhias baju koko, bercelana jeans, berselonjor kaki dikursi panjang dibelakang meja yang juga panjang.
Seorang lagi berbaju songket berperawakan tegap dengan rambut dipangkas rapi, umur tiga puluhan, Pak Sekdes. Seperti kebiasaannya, beliau langsung mendekati meja penyajian tanpa merasa kikuk, mengambil cangkir mempersiapkan sendiri gula dan kopi sesuai takaran seleranya. Kemudian duduk di lincak disamping Ustad Salim.
Satu kebiasaan unik, adalah cara Lek Man menyeduh kopi. Racikan gula kopi diseduh setengah cangkir, diaduk menggunakan ranting kayu kaukah misri, gerakannya memutar teratur sebanyak tujuh kali berlawanan arah jarum jam, menyerupai aliran thawaf, kemudian dituangi air lagi sampai penuh dan sedikit tumpah.
Hampir tiga tahun, sebuah warung beratapkan daun nipah, merajut sejarah demi sejarah. Malam ini selepas isyak, mereka bertiga datang bersamaan, mengingatkan kembali pada awal warung berdiri. Saat tiga orang itu menjadi pelanggan pertama Lek Man.
***
Waktu itu Satamlah yang pertama kali menaruh kecurigaan, merasa ada kejanggalan. Pandangannya tajam, bukan cuma mata raga, tapi akal dan pikiran, "Apa ngaduk seperti itu berpengaruh pada rasa Lek?".
Lek Man kaget bercampur kagum, mendapati seorang pemuda dengan tingkat pengamatan diatas rata-rata. Lek Man pun berusaha menjawab dengan pertanyaan. "Yang kamu maksud rasa di lidah atau rasa yang lain?".
Satam seperti kapas terkena percikan api, tersulut rasa penasaran dan keningin-tahuan, "Lho... memangnya ada rasa yang lain Lek?".
"Oh... ya jelas ada, lidah itu indra pengecap, bukan indra perasa, kalo indra perasa itu disebut perasaan, mengenai tempatnya dimana, kamu bisa otak-atik sendiri dirumah nanti". Lek Man memang hobi memberi bahan tafakkur kepada siapapun, semacam PR.
Ustad Salim tahu arah pembicaraan, "Tapi apa iya... Ngaduk seperti itu bisa dapat pahala?". Mungkin sebagai guru madrasah, materi dosa pahala terlalu merasuk dalam darahnya.
"Ini bukan urusan dosa pahala Tad, dosa pahala mutlak haknya Allah. Tapi saya meyakini setiap gerakan dan hitungan itu ada sirr, ada rahasianya".
Satam dan Pak Sekdes belum paham, maka Lek Man pun menyambung keterangannya, "Orang berangkat haji itu membawa segala amalnya, yang hitam maupun yang putih, setelah diisi niat, tekad, dan kemantapan, kemudian meraka pergi dan melaksanakan ritual haji. Salah satu ritual yang paling berkesan adalah thawaf tujuh kali, dimana mereka diaduk bersama lautan manusia, insyaallah ketika semua itu dilakukan dengan penghayatan, pemasrahan, sambil mencari ridho Gusti Allah, maka mereka akan dipenuhi dengan nur, cahaya kebaikan, bahkan terkadang cahaya itu mampu memancar, meluber, tumpah ke sekelilingnya".
"Berarti ngaduk kopi itu ada filosofi ibadahnya", Satam merasa bisa menyimpulkan.
"Gayamu Tam! Tukang sadap karet kok pakai istilah 'Filosofi', nggak pantes, tapi kamu merdeka untuk mengucapkan dan menyimpulkan itu", mereka terkekeh.
"Lha kamu sudah haji berapa kali Lek?". Pak Sekdes ganti bertanya.
"belum pernah".
"Apa benar kamu belum haji Lek?, bukankah dulu kamu sekolah di Arab?". Pak Sekdes tidak percaya.
"Arab itu luas, arab itu banyak, aku di Mesir, sebelah barat Saudi". Lek Man berusaha menjelaskan secara sederhana. Lek Man memang pernah belajar di Al-Azhar Cairo, hampir delapan tahun beliau di negeri Musa.
"Berarti kalau shalat menghadap ke timur ya Lek?". Sebetulnya Satam itu pemuda yang cerdas, semangat ingin tahu juga tinggi. Seandainya pemuda ini sejak kecil mendapat fasilitas dan kesempatan yang normal, mungkin dia akan menjadi pemuda yang unggul di kampungnya, bahkan bisa jadi Indonesia. Seperti yang dialami sebagian anak bangsa, Satam hanya lulusan SD, orang tuanya penyadap karet sambil sesekali menggembalakan sapi milik orang lain.
"Lebih tepatnya menghadap ke timur serong ke selatan, karena aku dulu di wilayah Cairo".
Satam dan Ustad Salim mengangguk mantap, padahal hanya basa-basi. Karena Lek Man tahu, kemungkinan besar mereka tidak mengenal daerah yang disebutkan Lek Man.
***
Distrik Abbasiyah Provinsi Cairo, termasuk pusat Kristen Koptik, sebuah sekte Kristen yang dipimpin oleh seorang Baba. Disanalah Lek Man beserta keluarga kecilnya, belajar membaur, menyatu dalam perbedaan, memaknai perbedaan sebagai harmoni dan keagungan karya Tuhan.
Tasamuh, toleransi yang menjadi pondasi sikap dalam menghadapi perbedaan, Lek Man serap dari para kiyai sewaktu masih mondok, dan dilanjutkan pematangan dari para Syekh semasa nyantri di Mesir.
Sebuah momen sejarah menjelang kepulangan Lek Man ke tanah air, adalah ketikaSyekh Ahmad Thoyib, pemimpin tertinggi Al-Azhar melayat seorang kawan yang meninggalkan dunia fana. Seorang kawan yang bergelar Baba Shenouda III dari Alexandria Patriarkh Takhta Suci pemimpin Gereja Ortodoks Koptik.
Ditengah semakin merebaknya egosentris, para penghujat yang dangkal akal, para pengkritik yang terinfeksi penyakit saraf gelut. Sang guru tetap mantap dengan langkah dan sikap, memberi contoh kepada siapapun tentang arti penghormatan, toleransi, kasih sayang.
Lek Man menyaksikan semua itu, seakan terpecut semangat, Lek Man bertekad, dimanapun di negeri katulistiwa, kepada siapapun dakwah harus terselenggara. Racun egoisme virus fanatisme pelan tapi pasti, telah sedang dan akan menggerogoti kehidupan berbangsa, juga kehidupan bermanusia, karena kita manusia.
Segala jenis racun dan virus bisa masuk akibat kegagalan sistem ketahanan akal, asupan gizi informasi serta vitamin dakwah yang tercampur bakteri fitnah, disajikan diatas piring-piring kotor. Malangnya, banyak yang tidak sadar dan justru melahap habis suguhan itu.
***
Sekenario sang Maha Sutradara. Melalui lika-liku cerita sehingga Lek Man harus hijrah, ditempatkan pada sebuah altar daerah perantauan, diperankan sebagai penjual kopi.
Warung kopi itu menjadi mimbar istimewa, dimana setiap manusia yang hadir memang sangat plural, dari berbagai macam suku, adat budaya, dialek bahasa, sikap karakter, keyakinan agama, setrata pendidikan, berbaur dalam bangku panjang dalam kelas yang disebut warung.
Alhamdulillah, warung kopi bukanlah tempat sakral. Siapapun yang memasukinya berbaur, berembug, diskusi, ngangsu-kaweruh, dan semua orang merasa merdeka untuk mendengar dan didengar.
***
Mendung yang sedari sore menggelayut, mulai digantikan rintik gerimis.
Lek Man sengaja masih diam, seakan ingin memberi kesempatan kepada tiga pelanggan istimewanya menikmati lantunan instrumen gerimis yang memantulkan suara dedaunan, terasa syahdu menyapa jiwa.
Atau mungkin mereka tidak mendengar suara itu. Karena memang sejak mereka masuk fikiran mereka entah mengembara kemana. Keluar cakrawala, mengamati goresan aurora atau justru masuk di kedalaman jiwa meneliti sesuatu yang mikro, kelenjar, saraf, sel. Atau lebih dalam lagi, ke palung sanubari.
"Kok bisa bareng-bareng? Janjian apa darimana?" memecah keheningan, Lek Man menyodorkan kopi masing-masing.
"Ketemu di acara pak Romli, langsung bareng ke sini". Pak Sekdes menjawab mewakili dua kawannya.
Mereka terdiam kembali, gerimis pun menjadi hujan.
Setelah hampir tiga tahun sering ngopi di warung Lek Man. Mereka bertiga dan banyak kawan lainnya, mulai bisa memperdayakan akalnya, memerdekakan fikirnya, menjernihkan pandangannya dari jajahan nafsu, fitnah, provokasi, penggiringan opini dan seluruh penyakit peradaban.
Selama itu pula dengan telaten serta kesabaran, Lek Man selalu menekankan pentingnya mendaya-gunakan akal, fikiran, pandangan. Seperti yang sering di katakan Lek Man "Supaya tidak di tegur oleh Allah afala ta'qilun, afala tatafakkarun, afala tubshirun, afala tatadabbarun".
Kini Lek Man sering mem-posisi-kan diri menjadi pendengar, dan mereka diberi panggung seluas-luasnya, memyampaikan apa yang di tafakkuri, yang di tadabburi.
Pak Sekdes membuka orasinya yang panjang, hujan pun seperti ikut mendengarkan. "Saya mulai memahami Lek, dulu kamu pernah menyampaikan bahwa kita harus mengenali diri kita dulu untuk bisa mengenali Rob".
"Tuhan maksudnya? Allah?" Lek Man bertanya untuk meyakinkan.
"Ya. Man 'arofa nafsahu faqod 'arofa robbahu, sesiapa mengenali dirinya sendiri maka sungguh dia mengenali tuhannya".
"Prakteknya seperti apa?".
"Kenalilah diri sebagai apa, ketika kita miskin artinya kita diperintah sabar, ketika kaya dermawan, jadi pemimpin dituntut bijak, jadi hakim adil, pedagang tidak mempermainkan timbangan, ketika pandai harus mengajar ketika bodoh harus mau belajar dan seterusnya".
Lek Man menyimak dengan seksama, "Sesuai proporsinya".
"Ya. Bisa dibilang begitu, jangan sampai miskin mengeluh, kaya pelit, pemimpin dzolim, hakim berat sebelah, pedagang curang, pandai sombong, bodoh keminter".
Dengan raut wajah serius Lek Man menyela. "Sebentar, tahan dulu".
"Ada apa Lek? Apa ada yang salah?".
"Keminter itu kan istilah saya, kenapa anda pakai?". Mereka semua terpingkal-pingkal karena mengira ada hal serius. "Oke. Oke silahkan diteruskan".
Suasana kembali serius, hujan pun masih mengguyur.
"Pendidikan karakter harus kita tanamkan sejak dini, baik di sekolah, dirumah, dan juga lingkungan. Sejauh yang saya amati dan saya tadabburi di lingkungan kita sekarang, adalah suburnya individualitas ke-aku-an".
"Maksudnya pak?". Satam penasaran.
"Contoh kongkritnya begini. Kalau ada orang mainan sabu, hobi judi, kebanyakan justru mengambil sikap, yang penting bukan keluargaku, yang penting bukan anakku, yang penting bukan aku. Ini kan bahaya".
"Bahayanya dimana Pak Sekdes?" Sergah Lek Man.
"Jelas bahaya, bisa jadi nantinya anak itu akan jadi pejabat, gubernur, bupati, camat atau sekelas Kades, atau mungkin jadi menantu kita. Kalau sudah tobat Alhamdulillah, lha kalau belum atau kumat, kita juga kena imbasnya".
"Em ya ya". Lek Man mengalihkan pandangan menghadap Ustad Salim. "Menurut penerawangan anda yang setiap hari mendidik anak-anak, kira-kira apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua sekaligus masyarakat".
***
Sambil menata posisi duduknya Ustad Salim memulai petuahnya. "Sederhana".
Sepontan Satam langsung menyahut. "Menyepe...".
"Dengarkan dulu". Ustad Salim memotong komentar Satam yang belum rampung. "Aku belum selesai ngomong. Sederhana itu kami mengharapkan kepada para orangtua agar kembali menjadi anak-anak".
Ganti Pak Sekdes tertawa terkekeh-kekeh, tapi Ustad Salim tidak menghiraukan dan terus melanjutkan. "Maksudnya, jadilah kawan bagi anak-anaknya, jika waktu shalat diajak shalat, dicontohkan, di kawani. Jika waktunya belajar, ya ditemani, di bimbing".
Ustad Salim berhenti sejenak dan mengamati para pendengarnya. Alhamdulillah semua terlihat antusias. Maka beliau pun melanjutkan "Mulut kami sampai berbusa-busa nyuruh anak saling tenggang rasa, saling menyayangi, kalau orangtuanya hobinya gelut bertengkar, ya nggak ngaruh".
"Setuju". Jawab Lek Man. "Intinya saya menyimpulkan, masih ada hubungannya dengan kenali diri kita, jika jadi orang tua, maka tanggung jawablah terhadap anak-anaknya".
Semua serempak menjawab "Betul".
Kemudian Lek Man atau Nur Rohman Jaya Negeri --entah filosofi apa yang dipakai ayah beliau sehingga menggabungkan nama arab dan Indonesia. Mungkin ayahnya mengharapakan beliau jadi seperti pancaran cahaya Dzat Pengasih Penyayang yang mampu menjadikan jayanya sebuah negeri-- mengarahkan pandangan kepada Satam.
***
Seketika itu juga suara petir meledak merambat menggema, hujan sudah mulai reda, namun rintik kecil masih terasa.
Tak seperti sebelumnya, justru Satam agak sedikit gugup, degup jantungnya berpacu bergemuruh saling sahut antara rintik dan petir perpisahan. Matanya waspada, kepalanya menoleh keluar warung, kanan kiri jauh dekat diamati dengan teliti. Semua tempat, dibawah remang lampu jalan, di antara pekatnya pepohonan, tak luput dari sorotan matanya yang tajam.
"Kenapa Tam. Apa kamu mau pulang sekarang? Kopimu nah, masih utuh, masih rintik juga". Pak Sekdes dan semua merasa ada yang aneh.
"Sudah. Ngomong saja, kami tau kau punya cerita". Ustad Salim mengeluarkan logat Bataknya.
Satam menatap Lek Man, dibalasnya tatapan itu dengan anggukan. Dengan sedikit melirihkan suaranya Satam mulai bicara. "Selama saya bicara tolong jangan ada yang menyela". Semua diam mengisyarakan sutuju.
"Selama ini kita mengenal Iblis adalah musuh. Tapi pikiran liar selalu mengusikku. Mungkinkah Baginda Iblis, hanyalah memainkan sekenario dari Allah, Beliau hanya di-peran-kan".
Hampir saja semua protes, tapi mereka bisa menahan diri. "Sejak semula Nabi Adam diperkenalkan kepada malaikat sebagai kholifah fil ard, pemimpin di bumi, kemudian Nabi Adam juga dibekali dengan pengetahuan asma kullaha. Kalau pandanganku asma disitu bukan nama benda, tapi asmaul husna. Sampai disini aku menjadi gila. Bagaimana jika Iblis nurut sujud kepada Nabi Adam, sehingga tidak perlu terjadi konspirasi buah khuldi. Sehingga Nabi Adam dan bunda Hawa sampai sekarang masih di sorga, dan janji Allah tentang kholifah fil ard belum terlaksana".
Satam mengambil nafas, mata dan telinganya masih waspada. "Karena Nabi Adam tidak membuat kesalahan, maka pemahaman Nabi Adam tentang asma kullaha menjadi tidak sempurna. Penjelasannya begini. Malaikat tidak bisa memahami At-Tawwab Al-Ghoffar, karena mereka dihindarkan dari kesalahan. Maka yang bisa memahami atau mengenal Allah lewat salah satu asma-nya itu, adalah mereka yang pernah berbuat salah, Nabi adam, dan ilmu pun menjadi sempurna".
Ustad Salim dan Pak Sekdes mengangguk memahami. Sedangkan Lek Man justru terlihat mematung, sorot matanya lurus ke depan, tapi tidak terpusat pada obyek apapun.
Dengan suara agak tertahan Satam melanjutkan bicaranya. "Sejak kecil dulu aku tahunya hanya nyadap karet, keinginan belajar perlahan padam karena keadaan. Mungkin itulah yang menjadikan pola pikirku liar. Tapi sekarang semangat itu terbit kembali laksana matahari di ufuk timur. Aku pernah mendengar anda, menyampaikan bahwa ilmu adalah cahaya, al-'ilmu nuurun. Dan cahaya bisa dikejar, hanya ketika kita pun menjadi cahaya. Aku ingin menjadi cahaya, aku ingin berbaur, menyatu, manunggal, nyawiji dengan Nur. Terimalah aku sebagai murid wahai Mursyid, wahai Syekh Nur Rohman". Satam secara sigap langsung memegang tangan Lek Nur Rohman den menciumnya dengan ta'dzim.
Pak Sekdes dan Ustad Salim kaget, syok. Sementara beliau yang dipanggil dengan Mursyid masih mematung dengan sorot mata lurus kedepan. Hujan sudah benar-benar sirna, mendung pun tak ada yang tersisa. Digantikan Nur Al-Badri, cahaya purnama.
Nur Rohman Jaya Negeri seperti melayang, kemudian ikut berbaris dalam barisan shaf jagat raya bersajadah cakrawala, memutar tasbih yang butirannya tersusun bebatuan luar angkasa. di dalam mihrab dibawah sidrotul muntaha.
Kemudian beliau bermunajat "Wahai Sang Maha Sutradara, peran apa lagi yang engkau rancang untukku, bimbinglah aku dengan cahayamu".

Ahmad Syukron Mujib
d/a: dusun Sokolangu RT/RW : 001/001
         Desa Sambirejo, Gabus, Pati
         Jawa Tengah
Email: kodokkatulistiwa@gmail.com
No. Telp: 085279038955

Comments
0 Comments