6 Feb 2013

Darahnya Masih Hijau

Dibesarkan dalam keluarga Nahdliyin membuat darahnya menjadi hijau (pada tulisan ini hanya menggunakan kata ganti orang ketiga tanpa menyebut nama demi perasaan yang bersangkutan).

Seperti makna yang terkandung dalam filosofi hijau nya Nahdlatul Ulama' melambangkan kesuburan. Dia berharap semoga pikirannya selalu subur dalam menilai dan mencermati segala permasalahan tanpa egois, fanatik dan tidak menerima pendapat orang lain.

Pendidikan karakter tentang bagaimana bersikap sebagai warga Nahdliyin, telah diajarkan oleh orangtuanya. Kebetulan sang ibu menjadi ketua Muslimat di desa. Pun mengenai Ke-NU-an telah diajarkan oleh guru-gurunya.

Mabadi'u Khoiro Ummah, yang biasa disebut Mabadi' Al-Khomsah selalu di terapkan dalam hal apapun oleh warga Nahdliyin. Hal ini penting untuk di pegang teguh, karena gerakan Mabadi'u Khoiro Ummah telah dijadikan pondasi oleh NU untuk sebuah karakter yang harus dimiliki oleh warga Nahdliyin. dengan kata lain, bersikap As-Shidqu, Al-Amanah wal-Wafa bil'ahdi, Al-'Adalah, At-Ta'awun, dan Istiqomah menjadi syarat minimal bagi siapapun yang mengaku warga Nahdliyin.

Namun saya dan sebagian temannya mencurigai, bahwa dia telah menjual harga diri dan keluar dai NU. Persepsi itu muncul karena dia tidak pernah menjelaskan duduk perkaranya kenapa dia melakukan hal-hal yang memancing para sahabatnya untuk ber-persepsi itu.

Kiranya dalam kesempatan ini, saya akan mencoba menyingkap tabir keremang-remangan tentang SALAH SATU hal yang dia lakukan, yang pernah saya jadikan sebagai alat untuk menuduhnya menyimpang dari asas dan norma warga Nahdliyin pada umumnya. Tuduhan itu didasarkan atas pergaulannya dengan kelompok lain.

Hal pertama yang perlu dipahami, NU tidak pernah membatasi warganya untuk bergaul kepada siapapun, karena warga Nahdliyin adalah bagian dari masyarakat yang sangat plural ini. Bahkan bergaul dengan penganut agama lain pun tidak serta merta menjadikan umat islam menjadi kufur.

Dalam menyikapi hal semacam ini terkadang kita salah tembak, yang patut kita jauhi adalah kekufuran bukan orang kafir, juga kedengkian bukannya orang yang dengki, dan mabuk-mabukan lah yang patut kita benci bukan pemabuk itu sendiri begitu seterusnya. Karena jika yang kita benci adalah manusianya maka justru kita melenceng dari sifat manusia itu sendiri, dimana perbedaan adalah sunatullah.

Terlalu banyak contoh yang telah terjadi pada masa lalu, para sahabat rosul sendiri banyak yang berasal dari orang kafir bahkan sangat membenci islam. Toh pada akhirnya ketika Allah berkehendak memberikan hidayah justru mereka menjadi orang yang sangat menyayangi islam. Sebut saja Sayidina Umar yang akhirnya malah menjadi salah satu Khulafaurrosyidin dengan julukan Amirul Mukminin.

Ditanah Jawa pun juga ada, pernahkah anda mendengar nama Loko Joyo yang masa mudanya dihabiskan untuk "mberandal" dan bertindak kriminal. tapi akhirnya mendapat hidayah dari Allah dengan bimbingan Sunan Bonang, Loko Joyo berubah nama menjadi Raden Syahid dialah Sunan Kalijaga. Seandainya Sunan Bonang tidak mau menerimanya menjadi murid dengan alasan kafir dan brandal, tentunya akan sulit bagi Loko Joyo tanpa guru untuk meniti jalan menuju kebenaran Islam.

Sehingga, alangkah lucu seandainya, misalnya seseorang harus dijauhi karena bergaul dengan orang-orang yang berbeda afiliasi organisasi/kelompok atau pun berbeda madzhab. Terlebih lagi jika memvonis seseorang sebagai pengikut kelompok yang lain hanya karena pergaulan seseorang terhadap sebuah kelompok itu. Meskipun kelompok yang satu dengan yang lainnya itu sangat berseberangan.

Hal ini terpaksa saya sampaikan, sebagai jawaban atas KESALAH-PAHAMAN  saya selama ini, yang menganggapnya menjual harga diri demi ekonomi dan menjadi "babu" bagi sebuah organisasi lain, karena dia ikut bekerja menjadi karyawan sebuah perusahaan yang kebetulan dimiliki oleh anggota organisasi lain.

Saya ingin meluruskan, ternyata dia masuk menjadi karyawan dengan berpegang As-Shidqu, dia tidak pernah menutupi bahwa dia adalah orang Nahdliyin, juga disampaikan kepada bosnya bahwa dia anggota dari Nahdlatul Ulama' tanpa berpura-pura menjadi anggota organisasi bosnya. Ketika menjadi karyawan, dia juga mencoba untuk Al-'Amanah wal-Wafa bil'Ahdi dengan mematuhi perjanjian kontrak yang dia tanda tangani. Dalam hal ini saya harus jujur bahwa keputusannya untuk menjadi karyawan itu perlu, karena dia harus bekerja untuk menafkahi keluarga.

Kasus diatas telah menyadarkan saya, bagaimana seharusnya kita menjunjung tinggi Al-'Adalah yaitu obyektif dan proporsional dalam menilai, jangan sampai mudah memvonis seseorang hanya dengan prasangka-prasangka. Karena bagaimanapun kita adalah mahluk sosial yang membutuhkan pertolongan satu sama lainnya sebagaimana tertuang dalam salah satu prinsip Mabadi' Al-Komsah yaitu At-Ta'awun. Dimana dia butuh pekerjaan, dan juga tentunya sangat butuh kepercayaan dari teman-temannya, dua-duanya penting.

Dari sedikit penjelasan saya diatas, semoga bisa menjadi media tabayyun atas kesalah-pahaman antara saya dan teman saya, sekaligus menjadi bahan renungan bagi para pembaca tentang bagaimana kita harus bersikap dalam menghadapi perbedaan. Saya meminta maaf jika kata-kata saya terkesan menggurui atau sok paling Nahdliyin. Satu hal yang ingin coba saya tegaskan adalah, bahwa dia masih Istiqomah dan darahnya masih HIJAU. Semoga bermanfaat.
Comments
0 Comments